BandungKita.id, BANDUNG – Kasus 14 Kepala Dinas Kabupaten Bandung Barat yang diduga terlibat dalam ‘suap berjamaah’ bersam Mantan Bupati KBB, Abubakar, seolah menguap. Abubakar boleh jadi telah divonis 5 tahun kurungan, namun bagi 14 kepala SKPD ini, aparat penegak hukum masih memberi status hukum abu-abu (belum inkracht).
Terkait hal itu, pakar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Widiada Gunakaya mengatakan agar status hukum dari 14 kepala dinas tersebut jelas, pihaknya menyarankan aparat penegak hukum segera melakukan pemeriksaan. Hal itu penting untuk membuktikan sejauh mana keterlibatan mereka dalam kasus suap tersebut.
Jika mengacu pada UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, pria yang akrab disapa widi itu mengatakan 14 kepala dinas itu digolongkan pada Active Omkoping atau pemberi suap. Sedangkan Abubakar sebagai penerima suap disebut Pasive Omkoping. Menurutnya, keduanya bisa dijerat hukum.
“Terkait 14 SKPD yang memberi suap itu, secara khusus diatur dalam UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap di Pasal 2 dan Pasal 3, ada istilah Active Omkoping itu pemberi suap dan Pasive Omkoping penerima saup, kalau kedua nya terbukti salah, ya wajib dihukum,” ujar Widi saat dihubungi BandungKita, Jumat (1/11/2019).
Widi mengakui pihak yang disebut active omkoping atau pemberi suap seringkali tidak dijerat, namun hanya pihak yang menjadi penerima suap saja atau sebagai pasive omkoping yang divonis.
“Yah secara hukum keduanya wajib dipidana, tapi kan kalau yang terlibatnya banyak, orang kemungkinan ada upaya-upaya saling menutupi satu sama lain,” imbuhnya.
Sementara itu, setelah mencuatnya nama 14 SKPD yang terlibat dalam kasus suap dalam persidangan Abubakar, Wakil Bupati KBB, Hengky Kurniawan berencana melakukan rotasi.
Menanggapi hal itu Widi menilai, rotasi adalah hal yang lumrah dalam dunia pemerintahan, hanya saja yang perlu diamati lebih dalam adalah apakah rotasi tersebut memang berdasarkan kepentingan tugas pokok dan fungsi administrasi, atau hanya ada sebab lain.
“Nah jangan samapai rotasi ini dilakukan agar yang 14 kepala SKPD terlibat tadi bisa dikondisikan, artinya supaya tidak terlibat lebih luas lagi, ini yang bahaya, sebaiknya ya terbuka saja,” ujar Widi.
Terlebih, lanjut Widi, tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran hukum yang justru penaganananya cukup sulit apalagi kalau korupsinya dilakukan secara terkoneksi dengan baik. Sehingga penyidik seringkali kesulitan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
“Tapi apapun alasanya, seberat apapun rintangannya, penyidik wajib memeriksa yang 14 itu, karena hanya dengan itulah bisa membuktikan mana yang benar mana yang salah. Apalagi biasanya ada upaya saling melindunagi, seolah-olah itu etika, ketika suatau kejahatan dilakukan secara bersama-sama,” tandasnya. (TRH/BandungKita)