Mengenang Kejayaan Kereta Api Rute Ciwidey-Soreang

BandungKita.id, SOREANG – Abah Udin menyalakan sebatang rokok yang dikeluarkan dari bungkus berwarna merah dengan polet hitam. Napasnya ditarik cukup dalam saat mengisap rokok. Tampak pipi kanan dan kiri berubah bentuk menjadi cekung. Pada saat itu akan terlihat di wajahnya beberapa penanda bahwa usianya tak lagi muda.

Abah Udin adalah satu dari sekian banyak pelanggan setia keta api jurusan Bandung-Ciwidey yang masih ada. BandungKita.id menemuinya di sebuah warung yang berdekatan dengan Jembatan Sadu, salah satu saksi bisu transportasi kereta api jaman dulu di kawasan Soreang, Kabupaten Bandung.

Bah Udin tengah memanggul kayu melewati Jembatan Sadu di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.

Sebelum berbincang, lelaki tua ramah itu memesan segelas kopi dan memulai pembicaraannya dengan kurang meyakinkan saat ditanya mengenai umur. Ia termenung cukup lama, sebelum memberi kepastian umurnya kini 96 tahun, yang diperkuat dengan kartu tanda penduduk (KTP).

“Emmh, mungkin 90 tahun atau 96 tahun. Eh ini di KTP tercatat 96 tahun,” ucapnya, Selasa (2/4/2019).

Baca juga: Dua Pekan Jelang Pemilihan, Sejumlah Pelajar Ikuti Simulasi Pencoblosan

Namun hal itu belum membuat kami lega, bahkan sempat ada buruk sangka bahwa Abah Udin menderita amnesia. Ia bakal banyak kesulitan untuk mengingat bagaimana pengalamannya naik kereta api dulu.

Akhirnya semua purba sangka itu terbantahkan saat Bah Udin menjawab dengan yakin harga karcis kereta api Pasir Jambu- Soreang. Ia juga memaparkan bahwa naik kereta adalah kebiasaannya sejak dulu.

Pasalnya Bah Udin saat muda adalah seorang pencari rumput di Perkebunan Teh Gambung, Pasir Jambu untuk pakan hewan domba ternak miliknya.

Baca juga: Bawaslu Garut Akan Panggil AKP Sulman Azis Pekan Ini

“Abah biasa ngarit di Gambung. Satu karung rumput dari perkebunan saya pikul ke stasiun Pasirjambu untuk naik kereta ke Soreang dengan ongkos Rp.10,” katanya.

Kereta dari Ciwidey ke Soreang hanya memakan tempuh 30 menit. Abah Udin merinci bahwa setiap penumpang yang naik kerta api Ciwidey-Soreang akan melewati 3 stasiun yaitu Stasiun Pasir Jambu, Stasiun Cukanghaur, dan Stasiun Cibereum.

Meski jalan Raya Soreang-Ciwidey telah lama ada, Ia memaparkan masyarakat banyak yang memilih kereta api sebagai moda transportasi waktu itu. Pasalnya kereta api dinilai murah dan cepat. Selain itu angkutan andong dan bus masih minim.

Menurut Abah Udin, selain jadi angkutan massal, Kerta Api Ciwidey- Soreang kerap digunakan untuk membawa hasil bumi seperti teh, kina, rempah-rempah, kayu dan lain sebagainya.

Baca juga: Mengecilkan Perut dengan Minum Air Jeruk Nipis, Benarkah Terbukti?

“Jalan raya sudah ada, tapi kan angkutan masih minim. Jadi masyarakat lebih memilih kereta api,” paparnya.

Bangunan yang dipakai untuk gudang belerang di Ciwidey

Kereta Api Bandung- Ciwidey dibuka tahun 1924 oleh perusahaan kereta milik Belanda Staatsspoorwegen. Pada 58 tahun kemudian tepatnya tahun 1982 pemerintah Indonesia resmi menutupnya.

Belum diketahui sebab resmi ditutupnya jalur tersebut, namun sebagian masyarakat termasuk Bah Udin yakin jalur itu ditutup usai tragedi kecelakaan di Desa Cukang Haur, Ciwidey tahun 1972.

“Kereta ini berhenti operasi usai tragedi kecelakaan di Cukang Haur. Kabarnya rel kereta bengkok, sehingga gerbong anjok. Katanya masinisnya juga meninggal,” jelasnya.

Terlepas dari apa penyebabnya penutupan jalur Kereta Api rute Ciwidey-Bandung itu. Bah Udin tetap merindukan kembali naik Kereta Api. Sambil meneguk kopi terakhir dalam gelasnya, ia mengakhiri perbincangannya dengan berkata, “Kalu pada waktu itu langsung diperbaiki, mungkin biayanya tak bakal besar seperti sekarang sampai miliaran.” tutupnya. (Restu Sauqi/Bandungkita.id)

Editor: Dian Aisyah