Kisah Muhari, Kakek Penjual Bantal Keliling di Kota Bandung

BandungKita.id, BANDUNG – Jam menunjukan pukul 17.00 WIB, sore itu Jalan AH Nasution masih tampak ramai lancar, jalur yang ditempuh untuk menemukan sebauh tempat tinggal yang juga berfungsi sebagai rumah produksi Kasur Lantai dan Bantal Kapuk itu menang tak terlalu sulit.

Lebih tepatnya di Jalan Pawenang II, RT 4 RW 5, Kelurahan Cisaranten Bina Harapa, Kecamatan Arcmanik, Kota Bandung terdapat sebuah ruamah dengan nuansa sederhana berdinding bilik bambu dan berpintu kayu. Itulah rumah penjual bantal kapuk bernama Muhari.

Di rumah itu pula lah, Muhari memilih berjuang sendiri demi menghidupi keluarganya yang tinggal di Desa Bobotsari, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Saat saya (reporter BandungKita.id, Tito Rohmatullah) bertemu, Sabtu (27/4/2019) di kediamannya, Pak Muhari tampak tersenyum ramah sembari mengajak masuk meski sama sekali tak ia kenali siapa yang tiba-tiba menyambangi tempat tinggalnya. Ia tampak sedang melepas lelah sehabis bekerja.

Baca juga:

Azis, Si Bocah Pencipta Ribuan Layang-Layang Asal Singajaya

 

Tapi, mungkin sikap ramah itu lah yang membuat Muhari memilki banyak teman dan tetap semangat berjuang di hari tuanya. Dengan mengenakan kaos putih, celana pendek oranye, ia menyapa saya sambil tersenyum.

“Yo mas silakan masuk mari duduk,”kata Muhari sambil menyiapkan bangku mini berbahan kayu atau yang dalam bahasa sunda biasa di sebut Jojodog.

Dengan beralas karpet sederhana berwarna jingga, obrolan seketika mencair dan berlangsung sangat akrab. Serupa kawan lama yang lama tak jumpa.

Pria dengan kumis dan rambut yang mulai memutih itu bercerita bahwa dirinya sudah lama menekuni profesi sebagai pedagang bantal keliling, yakni sejak dekade 60 an.

“Bapak berjualan sudah lama ya, sejak tinggal di Kota Bandung aja itu sekitar tahun 1968, yah berangkat jam 7 atau jam 8 pagi pulang sehabis asar,” kata Muhari.

Baca juga:

Cerita Abrurrohim, Kakek yang Menempuh Jarak Padalarang-Cimahi untuk Berjualan Cobek

 

Dengan beban sekitar 10 kilogram lantaran dagangan yang yang ia pikul, Muhari bisa meraup pendapatan sekitar Rp.50 ribu ketika sepi, dan Rp.75-100 ribu dikala ramai.

Tak harus punya uang banyak bagi Muhari untuk sekadar menikmati hidup. Bisa membeli sepiring nasi dan segalas kopi cukup bagi Hari (panggilan akrabnya) untuk merasa bahagia.

“Ya walau pun usia sudah begini saya lebih enak bisa menghidupi diri saya sendiri dan keluarga tanpa membebankan orang lain,” ujar Muhari.

Dengan harga satu bantal Rp.50 atau Rp.100 ribu tiga bantal, Muhari kerap menjajakan daganganya berkeliling. Dari wilayah Ujungberung, Arcmanik, bahkan Cicaheum. Perjuangan Muhari bekerja memang tak bisa dianggap remeh.

Pasalnya, ia sudah berjualan bantal sejak setengah abad lalu bahkan sudah tiga kali pindah tempat tinggal. Mulai dari daerah Balubur tahun 1970, Cinangka Ujungberung tahun 1980, dan terkahir di Jalan Pawenang II sejak tahun 1990 hingga sekarang.

Rasa rindu pada keluarganya dikampung bukan tak dirasakan Muhari, ke empat anaknya yang sama-sama bekerja, menjadikan pertemuan keluarga dilakukan kala lebaran tiba, kecuali ada kepentingan mendesak.

“Ya nanti lah pulang sekitar tanggal 25 Ramadan, tapi kemarin lima hari yang lalau baru abis pulang saya nyoblos soalnya,” terang Muhari.

Baca juga:

Kisah Abah Kaman, Puluhan Tahun Tinggal di Semak-semak Dekat Kantor Pemkab Bandung Barat

 

Ia menuturkan, sang istri selalu setia menunggu di kampung halamnya dan mash sehat, begitupula dengan anak-anaknya. Muhari menjelaskan anak pertama dan kedua berprofesi sebagai buruh bangunan, dan yang ketiga berjualan baso.

“Kalau yang terkahir itu perempuan, tinggal aja dirumah di sana,” ujarnya.

Bagi Muhari, tidak ada alasan untuk menjakni hidup dengan bergantung pada orang lain. Ungkapan itu seolah menjadi pemicu agar sesulit apapun hidup ketika terus berjuang maka di sana ada jalan.

“Saya enggak suka kalau hanya nongrong di rumah lah, saya lebih memilih bekerja agar bisa makan sehari-hari dan sisanya buat keluaraga saya. Tidak perlu harus terlihat sedih kalau kita terus berjuang, karena sesungguhnya yang tidak berjuang itu lah yang paling menyedihkan,” tandas Muhari.

Tetangga Muhari, Lina (46) mengaku sering melihat Muhari berjualan dihari libur. Di sekitar Sport Jabar Arcmanik, kondisi Muhari yang tak lagi muda cukup membuat Lina terharu melihat perjuanganya.

“Iyah saya ge sok ningal si bapak icalan di Sport Jabar, dagangana eta, bantal teh dijajarkeun kitu, sibapak na calik wehnya handapeun tangkal, abi ge hawatos tapi uhun si bapak mah meni kersa padahal tos sepuh,” ujar Lina terenyuh. (Tito Rohmatulloh/BandungKita)