BandungKita.id, BANDUNG – Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Kota Bandung jalur zonasi memicu keluhan sejumlah warga. Salah satunya diutarakan Sofi (40), warga Kelurahan Cibadak, Astana Anyar, Kota Bandung.
Sofi merasa sistem zonasi dengan pembagian empat zona pada PPDB tahun ini, cukup membingungkan dan merugikan. Pasalnya, di tempat dirinya berada, sekolah unggulan hanya ada 1 saja.
“Ya jalur zonasi ini memang membingungkan dan merugikan, soalnya kan tergantung zona gitu, saya di zona D dan sekolah yang unggul itu hanya ada satu sekolah, pasti sekolah satu ini bakal membludak,” kata Sofi (40) saat dihubungi BandungKita, Kamis (16/5/2019).
Padahal, kata Sofi ia ingin menyekolahkan anaknya ke SMP Negri 5 atau SMP Negeri 2 Kota Bandung. “Jadi enggak bisa, karena memang tidak termasuk di zona D itu,” kata sofi.
Ironisnya, calon siswa lainya yang justru jauh dari SMP Negri 5 atau SMP Negri 2 tetap bisa mendaftar lantaran masuk zona. “Kaya yang dari Sukajadi atau Setiabudhi itu bisa ke SMPN 5 atau SMPN 2, kita yang lebih dekat gak bisa karena bukan zonanya, kenapa gak pakai sistem jarak lagi aja sih atau nilai UN,” sesal Sofi.
Baca juga:
Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan: Tolak Komersialisasi Pendidikan di Kota Bandung
Selain itu, Sofi mencontohkan salah satu sekolah yang dinilai mumpuni yakni SMP Nengri 43. Sialnya sofi lagi-lagi tidak bisa menyekolahkan anaknya di sana, karena tak masuk zona.
“Padahal ke SMP Negri 43 itu sekitar 1,3 kilo meter, gak beda jauh kaya jarak kita ke SMP Negri 1, gak begitu jauh, cuman karena SMP Negeri 43 masuknya Kecamatan Regol, kita masuknya Kecamatan Astana Anyar, dan beda zona. Ya jadi gak bisa,” katanya.
Terlebih, tahun ini Sofi memiliki dua buah hati, yang satu akan masuk SD dan satu lagi masuk SMP. Bagi Sofi, mensekolahkan anak bukan hanya urusan kognitif atau pengetahuan pelajaran saja, namun perlu juga memahami kultur dan budaya lingkungan sekolah.
“Artinya kalau pun sekolah dibagi dalam bentuk zona maka tentu akan ada satu atau dua sekolah yang dijadikan unggulan dalam suatu zona tersebut, karena pertimbangan kualitas tentunya, bukan hanya sekedar dekat,” katanya.
Baca juga:
Kisah Uu Sang Kuli Bangunan Kuliahkan Anaknya ke ITB dan Unpad : Yakin Pendidikan Bisa Ubah Nasib Mereka
“Kita gak mau anak-anak kita misalnya kita jadi korban perundungan, atau dipalak lantaran belajar disekolah yang banyak anak nakalnya,” kata Sofi.
Sementara itu, saat disinggung soal maksud dan tujuan pemerintah menerapkan zonasi agar tidak ada pemisahan antara sekolah favorit dan non favorit, Sofi menegaskan ia tidak sepakat dengan hal itu.
“Kalau mau menghapus paradigma tersebut kenapa tidak melakukan pemerataan terhadap SDM, baik guru maupun kepala sekolah. Misal, guru yang bisa mengelola sekolah yang satu, coba ditukar ke sekolah yang belum bagus biar merata,” kata Sofi.
Alih-alih menghapus pemilahan sekolah, dengan adanya zonasi kata Sofi, justru memaksa dan menekan siswa agar sekolah di tempat tertentu, padahal anak tidak menginginkannya.
“Anak-anak juga sudah menyiapkan buat ujian, dapet nilai bagus, tiba-tiba gak dapet sekolah yang bagus. Ya mereka down lah, juga kalau siswa yang otaknya encer, disatukan dengan siswa yang agak sulit, maka ya pembelajaran juga susah,” pungkas Sofi.***(Tito Rohmatulloh/BandungKita)
Editor: Restu Sauqi