Menelisik Sejarah Asal Mula ‘Cililin’ dan Perjuangan Dibaliknya

BandungKita.id, KBB – Cililin merupakan nama desa atau kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung Barat (KBB). Namun, dibalik kata ‘Cililin’ sendiri ternyata tersimpan sejarah yang cukup panjang dan menarik untuk digali.

Cililin sendiri memiliki cakupan dan ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar desa atau kecamatan yang saat ini ada, yaitu hampir sebagian besar wilayah yang ada di Bandung Barat bagian selatan adalah bagian dari Cililin.

Pasalnya, dahulu Cililin merupakan satu kewedanan yang cakupan wilayahnya meliputi Cihampelas, Sindangkerta, Cipongkor, Gunung Halu dan sekitarnya.

Perlu diketahui, kawedanan adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan yang berlaku pada masa Hindia Belanda dan beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia yang dipakai di beberapa provinsi.

Ketua Jurusan Sejarah FKIS IKIP Bandung, 1986, Drs. Said Raksakusumah menuturkan, kata ‘Cililin’ bermula dari bahasa Belanda yakni ‘Uit Tuin Lijn Weg’ atau ‘Elina’ yang berarti pembuatan jalan.

Di mana sekitar tahun 1840-1850 dilakukan pembuatan jalan yang membentang dari lokasi Kampung Kaca-kaca, Loji dan Tangsi Gunung Halu untuk kebutuhan perkebunan.

Sementara itu, Salah satu tokoh sekaligus budayawan Cililin Amar Sudarma (86) menjadi saksi hidup sejarah Cililin pada masa peralihan penjajahan kolonial Belanda ke Jepang hingga pasca kemerdekaan RI.

Kendati berusia senja, Amar nampak segar dan bugar, serta mampu mengingat dengan baik setiap cerita awal mula berdirinya Cililin.

Amar menuturkan sejak dahulu dirinya terus menggali setiap bukti sejarah melalui pengalaman pribadi maupun penulusuran literatur, termasuk menemui tokoh sentral dalam kawedanan Cililin.

Seluruh informasi yang Amar dapat telah dituangkan dalam tulisan sederhananya yang berjudul Lintasan Sejarah Bandung Rungsit (1630-1643) dan Cikal Bakal Kawedanan Rongga-Cililin.

Amar menuturkan, cikal bakal Kawedanan Cililin dimulai pada masa Bandung Rungsit tahun 1630-1643. Rungsit sendiri memiliki arti atau kacau. Hal ini berkaitan dengan peristiwa kegagalan Adipati Ukur yang bernama asli Wangsa Taruna dalam Perang Batawi pada tahun 1628-1629 atas perintah Sultan Agung Mataram.

Baca Juga:

Unik! Kopi Bursel Khas Desa Cipada ini Miliki Enam Rasa

Mall di Empat Kota Boleh Dibuka, Pemerintah Wajibkan Pengunjung Harus Sudah Vaksin

PPKM Level Diperpanjang Hingga 16 Agustus 2021

“Karena di masa itu berlaku hukuman tugel jangga atauu pancung, Adipati Ukur bersama pasukan sunda tidak mau kembali ke Mataram,” tuturnya.

Amar melanjutkan, pasca peristiwa itu Sultan Agung memerintahkan pasukannya untuk memburu Dipati Ukur. Sementara Adipati Ukur bersembunyi di Gunung Lumbung, Batulayang Cililin.

“Saat peristiwa itu terjadi, pergolakan lain juga terjadi, yaitu sisa pasukan sunda dan Mataram terus bergerilya melawan Belanda,” bebernya.

Lantaran tidak adanya Adipati Ukur di Tatar Ukur, Sultan Agung Mataram memutuskan untuk mengangkat Astamanggala yang bergelar Tumenggung Wira Angun-angun sebagai kepala pemerintahan di Tatar Bandung pada 21 April 1643.

“Pasca diangkat, Tumenggung Wira Angun Angun diberi tugas untuk membereskan rungsit di Tatar Bandung yang meliputi Soreang, Lembang, Cimahi, Rende, Majalaya, Ciparay, Banjaran, Kopo, Bandung, Rongga, Cisondari, Cicalengka, Rajamandala dan Ujung Berung,” paparnya.

Kemudian, lanjut Amar, sisa daerah yang sangat kacau ialah wilayah situ bendung daru Sanghyang Tikoro sampai Cilokotot Selatan (Cimahi) dan barat daerah Cijerokaso (Soreang). Kekacauan tersebut dilakukan oleh Badog Silalawi yang berasal dari Karawang dan bermarkas di Gunung Parang Purwakarta yang tak lain anak buah Kraeng Glesong yang bergerilya merebut kembali daerah VOC mulai Karawang sampai Situ Bendung.

“Menjelang tahun 1600-1645 atau abad ke 17, di bawah Kesultanan Mataram, Tatar Ukur atau Kabupaten (kini) di bawah kepemimpinan Adipati Ukur mempunyai 9 daerah bawahan atau yang disebut Umbul,” ucapnya.

9 Umbul tersebut di antaranya:

Umbul Batulayang yang meliputi Kawedanan Cililin, Soreang, dan Ciparay. Kepala Umbulnya bernama Singawangsa.

Umbul Saung Watang, meliputi Kewedanaan Mangunreja Garut. Kepala Umbulnya benama Demang Saungwatang.

Umbul Taraju, meliputi Kewedanaan Taraju, Salagedang, dan Luragung. Kepala Umbulnya bernama Ngabehi Yudakerta.

Umbul Kahuripan, meliputi Kota Bandung, Cimahi, Cikalong, Sumedang, dan Purwakarta. Kepala Umbulnya bernama Tumenggung Wirasuta.

Umbul Medang Sasingar, meliputi Sumedang Utara, Situ Raja, dan Subang. Kepala Umbulnya bernama Tumenggung Arjasuta.

Umbul Malangbong, meliputi Darmaraja sebelah utara, dan Cibuni sebelah selatan. Kepala Umbulnya bernama Tumenggung Balekembang.

Umbul Mananggel, meliputi Kewedanaan Leles sampai Galunggung. Kepala Umbulnya bernama Ngabehi Suatabraja.

Umbul Sagaraherang, meliputi daerah Pamanukan, Ciasem, dan Karawang. Kepala Umbulnya bernama Singaperbangsa.

Umbul Manabaya, meliputi daerah Cibuni timur sampai Kabupaten Ciamis. Kepala Umbulnya bemama Nagbehi Tanda.

Daerah Tatar Ukur pada tahun 1623 merupakan Kabupaten yang terluas di Tatar Sunda, kepala tanah Tatar Ukur dijuluki lulurah atau kedatuan. Dengan diberi gelar Tumenggung Adipati.

Sementara di bawah Umbul Batulayang, Kewedanaan Cililin meliputi tiga kecamatan yakni Cililin, Sindangkerta, dan Gununghalu. Kawedanan Cililin sendiri merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tingkat II Bandung bagian selatan tanahnya subur, membentang luas dari arah utara ke selatan dan dari timur ke barat.

Video Pilihan:

Menakar Kisah Cililin, Antara Adipati Ukur, Westerling, Polisi Dan Budak Angon? || TALKSHOW KITA

Menurut ahli filsafat, daerah Kawedanan Cililin merupakan Tanah Bahe Ngaler, yakni tanah yang sangat baik untuk dihuni manusia. Hal ini bisa dilihat dari aliran sungai yang bermuara hingga Sungai Citarum, diantaranya Sungai Cidadap, Sungai Cilanang, Sungai Cijambu, dan Sungai Ciminyak. Disertai anak sungainya seperti Sungai Ciawitali, Sungai Cimeta, Sungai Ciwidara, Sungai Cijenuk, Sungai Cijere, Sungai Cisareuni, Sungai Citus, Sungai Cilamaya, Sungai Cibitung. Sungai Cipatik, dan Sungai Cililin.

Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa daerah dataran rendah terletak di sebelah utara sedangkan dataran tinggi terletak di sebelah selatan. Adapun batasnya adalah sebelah utara berbatasan dengan bekas Kewedanaan Cimahi, sebelah timur berbatasan dengan Kewedanaan Soreang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Soreang.

Sedangkan pembagian wilayah kecamatannya semula hanya terdiri dari tiga kecamatan saja yaitu, Kecamatan Cililin, Kecamatan Sindangkerta, dan Kecamatan Gununghalu. Setelah dimekarkan menjadi empat kecamatan, satu kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sindangkerta yaitu Kecamatan Cipongkor.

Dengan demikian, Kawedanan Cililin merupakan daerah yang terluas di wilayah Kabupaten Bandung, bahkan hampir sama dengan luas wialayah Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang.

Menurut peneliti ahli purbakala hampir sepertiga daerah genangan atau Danau Gunung Purba. Hal itu juga menjadi faktor yang menjadikan wilayah Kawedanan Cililin menjadi daerah yang subur.

Jarak antara Ibu Kota Kabupaten Bandung ke Ibu Kota Kawedanan Cililin semula berjarak 29 kilometer. Namun, setelah dipindahkan ke Baleendah jaraknya menjadi lebih pendek sekitar 22 kilometer. (Tim BandungKita.id)

Editor: Agus SN