Putusan MK Hanya Lahirkan Para Komprador Politik, Bukan Calon Pemimpin Harapan Rakyat

PILKADA 2024, Politik, Sosok112768 Views

Pasca Putusan MK, Rakyat Tidak Disuguhi Banyak Pilihan Calon Pemimpin

BandungKita.id, BANDUNG – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas syarat pencalonan kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024, ternyata tidak banyak mengubah peta politik Pilkada di daerah.

Hal itu terlihat pasca penutupan pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, setidaknya di beberapa wilayah di kawasan Bandung Raya seperti Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat (KBB) dan Kabupaten Bandung.

Baca Juga:

Ribuan Guru Ngaji dan Tukang Ojek Antar Dadang Supriatna-Ali Syakieb Daftar ke KPU

Sule dan Komar Preman Pensiun Iringi Pasangan Dikdik-Bagja Setiawan Mendaftar ke KPU

[LIVE] || PANTAUAN PENDAFTARAN CALON BUPATI/WALIKOTA DAN WAKIL || CCTV KOTA BANDUNG || KAMIS 29/08/2024

Partai politik (parpol) parlemen maupun parpol non parlemen yang diharapkan dapat menyajikan banyak poros koalisi atau banyaknya opsi pilihan pasangan calon bagi masyarakat, ternyata jauh panggang daripada api alias tidak terjadi.

Seperti halnya yang terlihat di Pilkada Kabupaten Bandung. Pasca penutupan pendaftaran calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung di KPU, Pilkada Kabupaten Bandung dipastikan hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Pertama, pasangan Dadang Supriatna-Ali Syakieb yang diusung 13 partai yaitu PKB, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PAB, PDIP dan 7 parpol non parlemen yakni PBB, PSI, Partai Buruh, Partai Garuda, PKN, Partai Prima dan Partai Gelora.

Pasangan kedua yakni Sahrul Gunawan-Gungun Gunawan. Pasangan ini diusung dua parpol parlemen yakni Golkar dan PKS serta tiga partai non parlemen yakni PPP, Hanura, dan Partai Ummat.

Salah seorang aktivis pergerakan Kabupaten Bandung, Yopi Ahmad menyebut tidak ada yang menarik pasca putusan MK tersebut. Menurutnya, kondisi tersebut ibarat sekedar hiburan layar kaca karena tidak ada kejutan yang berarti.

“Saya melihat pasca putusan MK ini hanya melahirkan para komprador (perantara pemilik kepentingan) politik baru, bukan melahirkan calon pemimpin yang akan mengawal demokrasi. Kondisi ini semacam action shadow partai politik, ujungnya anti klimaks,” tutur Yopi kepada BandungKita.id, Jum’at (30/8/2024).

“Kalau hanya sekedar tampil dan tidak untuk memutus mata rantai keberlanjutan kekuasaan suatu rezim berkuasa yang secara terus menerus, sama saja dengan komprador politik yang anti dengan semangat pembaharuan dan perubahan,” lanjut Yopi.

Menurut pria kelahiran Soreang Kabupaten Bandung ini, diperlukan pemahaman yang lebih tajam dan mendalam mengenai pemahaman demokrasi. Karena seringkali masyarakat sulit memahami karena adanya euforia syndrome pilkada sebagai pesta rakyat, dan politisasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Ia menjelaskan esensi demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang berjalan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat Indonesia adalah demokrasi Pancasila, di mana ada partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan publik.

Video Pilihan:

“Demokrasi tanpa partisipasi langsung dari rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri,” ungkap Yopi.

Kondisi politik di daerah pasca putusan MK tampak seperti dinamis, namun sebenarnya kondisinya cukup mengkhawatirkan.

Sebab, selain di beberapa daerah ada upaya membangun koalisi gemuk, Yopi juga menyoroti tentang minimnya inisiasi dari para penyelenggara pemilu di seluruh daerah tentang pentingnya membangun citra demokrasi yang religius.

“Saya tidak melihat upaya konkret dari kelompok manapun yang beririsan langsung atau pun dari penyelenggara pemilu selama ini dalam upaya membangun kesadaran pentingnya melibatkan prosesi keagamaan dalam kegiatan KPU maupun Bawaslu. Misalkan istighosah ayau doa bersama. Apakah ada? Enggak ada,” sindir Yopi.

https://bandungkita.id/wp-content/uploads/2024/08/Video-WhatsApp-2024-08-30-pukul-16.05.13_e7af3908.mp4

Meski demikian, ia berharap semua pihak yang memiliki kepentingan di Pilkada 2024 dapat membangun kesadaran, bahwa kekuasaan yang akan didapatkan kelak harus terhindar dari intervensi manapun serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

“Saya berharap, para politisi ini memiliki kesadaran tentang produk politik mereka kelak yang berkaitan dengan persoalan sosial saat ini, seperti himpitan ekonomi, persoalan lingkungan, pengembangan wilayah, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kapasitas sumber daya manusianya, terutama membangun karakter daerah dan generasi selanjutnya, itu sangat saya harapkan,” bebernya. (Dhom Hermawan)

Artikel Menarik