Bandungkita.id, Jawa Barat – DPRD Provinsi Jawa Barat menilai tidak dilibatkan dalam penggunaan angaran untuk program pendidikan karakter berbasis semi militer oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Karena biaya program yang membina para siswa bermasalah di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi ini menelan anggaran sebesar Rp6 miliar yang bersumber dari APBD Jabar.
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Zaini Shofari mengatakan, pihaknya hingga kini belum dilibatkan dalam pembahasan program pendidikan karakter berbasis semi militer termasuk anggaran yang digunakan. Padahal program tersebut saat ini sudah berjalan dan memiliki kuota untuk untuk 900 siswa bermasalah, dan mekanismenya dilakukan dalam beberapa gelombang.
“Anggaran kita tidak pernah tahu, apalagi sampai pembahasan, hanya disodorkan sekian, termasuk di wilayah regulasi,” kata Zaini saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (7/5/2025).
Ia mengaku, legislatif bakal memanggil Dinas Pendidikan Jabar selaku penanggungjawab program yang digembor-gemborkan Dedi Mulyadi. Ia menilai, DPRD Jabar wajib mengetahui sumber anggaran yang digunakan tersebut diambil dari kegiatan mana saja.
“Makanya ketika saya ditanya tahu apa tidak? Tidak tahu, kalau ini ada (anggaran latihan integritas dan kedisiplinan siswa) betul karena memang menjadi salah satu program prioritas gubernur di wilayah pendidikan,” ujarnya.
Program tersebur sudah masuk dalam Program Prioritas Pendidikan Provinsi Jabar, Latihan Integritas dan Kedisiplinan Siswa (Bela Negara) di mana tertulis usulan Rp6 miliar, dengan keterangan latihan khusus bagi peserta didik yang diindikasi melanggar norma sekolah (juvenile adequancy) kerjasama dengan TNI/Polri.
Output dari kegiatan ini yaitu, terjalinnya kerjasama pelatihan dengan pihak TNI/POLRI 2.000 siswa yang dilatih integritas, disiplin, dengan wawasan bela negara dengan target 40 siswa per lima wilayah setiap 10 bulan.
“Misal dalam kasus ini 2000 siswa dilibatkan disitu dengan angka Rp 6 miliar bukan angka yang kecil, bukan jumlah siswa yang sedikit, bagaimana kalau kemudian didalamnya tidak memiliki regulasi? Atau aturan di abaikan?,” jelasnya.
Zaini mengkhawatirkan sikap Gubernur Dedi Mulyadi dalam merespon sebuah permasalah menjadi contoh bagi para kepala daerah untuk membuat kebijakan yang serupa dengan mengabaikan regulasi dan aturan.
“Karena ketika bicara regulasi maka di situ adalah kebijakan politik, ketika bicara kebijakan politik maka trias politika berjalan. Ada eksekutif, ada legislatif, ada yudikatif. Dan eksekutif berjalan, legislatif berjalan. Tapi kalau (hanya) salah satu misalnya yang ada bukan demokrasi,” imbunnya.