Tatang Sobarna Ubah Sampah Organik Pasar Ciwastra Jadi ‘Rupiah’

BandungKita.id, BANDUNG – Pasar Ciwastra yang berada di Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Rancasari merupakan salah satu pasar tradisional di Kota Bandung yang menciptakan inovasi berupa wadah khusus untuk proses pengomposan. Wadah tempat pengomposan ini terbuat dari sampah serabut buah kelapa.

Karena keberhasilannya, pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra menjadi proyek percontohan pengelolaan sampah di pasar tradisional di Kota Bandung.

Tatang Sobarna ialah sosok di balik pengolahan sampah tersebut. Ia mengakui meskipun baru berjalan enam bulan, namun sudah banyak orang yang datang untuk belajar.

“Kemarin-kemarin baru ada dari ITB, terus orang Jepang ke sini sampai dua kali. Waktu itu juga ada dari UNDP (United Nations Development Programs) PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bersama Kementerian Perindustrian dan Perdagangan,” ujar Tatang Sobarna, salah satu petugas pengelolaan sampah Pasar Ciwastra.

BACA JUGA:

Usai Kirim Miras ke Asrama Papua, Kapolsek Sukajadi Dicopot dari Jabatannya

 

Selain itu, ia juga menciptakan inovasi berupa wadah khusus pengomposan sampah. Setiap harinya, lanjut Tatang tak kurang dari setengah ton sampah organik diolah di Pasar Ciwastra.

“Sejak diluncurkan pada bulan Maret 2019, saat ini sudah bisa mengolah sekitar 560 kilogram sampah setiap harinya,” kata Tatang yang ditemui di temat pengelolaan sampah Paar Ciwastra, Rabu (21/8/2019).

Menurut Tatang, dari sekitar 800 kg sampah organik yang diproduksi pedagang Pasar Ciwastra, hampir 70% sudah diolah.

“Sampah yang dihasilkan dari pasar mayoritas sampah organik. Setelah diolah dibuat menjadi pupuk, magot, dan pakan,” ujarnya.

Pengelolaan tersebut Tatang akui, dilakukan setelah diluncurkannya program Kang Pisman di penghujung tahun 2018. Selama proses pengkajian, pedagang diberikan sosialisasi konsep Kang Pisman.

 

BACA JUGA:

Bilic Kecam TCT Bandung Karena Unggah Video Berisi Perundungan Terhadap Penyandang Disabilitas

 

Proses pemilihan sampah

Mereka diajarkan cara memilah sampah menjadi tiga, yaitu sampah buah-buahan, sampah sayuran, dan sampah campuran. Sampah-sampah yang sudah dipilah kemudian dipadatkan dengan cara dicacah, ditumbuk atau digiling sehingga kadar airnya menjadi 1:1 (1 kg sampah dengan kandungan 1 liter air).

“Lalu dengan menggunakan metode wasima komposter rumah tangga, sampah yang sudah dipadatkan dimasukan ke kotak untuk difermentasikan. Sekitar 50 persen airnya keluar menjadi pupuk cair dan setengahnya lagi dikompos,” ujarnya.

Untuk sampah sayuran atau buah-buahan yang masih utuh namun tidak layak jual, Tatang memisahkannya untuk dibuat menjadi silase, yaitu pakan ternak permentasi.

Infomasi yang diperoleh dari peternak, silase menjadi salah satu pakan khusus untuk penggemukan hewan ternak.

“Jadi setelah dipilah lalu dicacah sekitar 3-5 cm, ditambah dedak lalu tambah garam dan mol terus dipermentasi secara tertutup. Setelah 5-7 hari baru bisa dipakai untuk pakan ternak yang kekuatannya bisa tahan sampai 6 bulan,” paparnya.

Selain silase, olahan sampah ini juga menghasilkan produk lain, berupa bibit pupuk cair, magot serta pupuk padat. Produk tersebut dijual dengan harga yang bervariasi.

“Untuk satu liter bibit pupuk cair dihargai Rp20.000, magot hidup seharga Rp7.000 perkilogram, silase pakan ternak permentasi dijual seharga Rp400 perkilogram. Kemudian pupuk padat hasil pengomposan Rp1.000 perkilogram dan pupuk padat sisa pengembangbiakan magot dijual Rp5.000 perkilogram,” katanya.

Tatang mengungkapkan, wadah pengomposan dari serabut kelapa yang dibuatnya mempunyai banyak keunggulan jika dibandingkan dengan menggunakan drum ataupun metode bata terawang.

BACA JUGA:

Mahasiswa Papua Minta Oknum Polisi Pemberi Miras Tidak Hanya Dimutasi

 

“Kalau kompos kan harus ada kelembapan dan udara yang cukup, nah ini juga menyerap bau pada saat proses pengkomposan, karena kalau kurang udara muncul amonia dan h2s cairan karena kelembapan tinggi jadi bau,” katanya.

Sayangnya wadah pengomposan buatan Tatang ini masih terbatas karena proses pembuatannya dilakukan secara manual yang membutuhkan waktu lama.

“Ini buatnya ditakolan (dipukul-pukul, red) sendiri atau dilindas truk yang kebetulan lewat,” tandasnya. (Dian Aisyah/Bandungkita.id)

Sumber: Humas Pemkot Bandung