Waduh ! Petani Teh Pangalengan Dipaksa Tanam Kopi, Bupati Diminta Temui Pengunjuk Rasa

BandungKita.id, SOREANG – Ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) berunjuk rasa menuntut agar Bupati Bandung, Dadang M Naser memberikan sikap tegas mengenai nasib petani teh di Pangalengan. Pasalnya, petani teh di Pangalengan dipaksa untuk menanam kopi yang teknis penanamannya tidak dimengerti petani.

Unjuk rasa ratusan orang itu dilakukan di depan gerbang pintu masuk Pemkab Bandung, Jalan Alfathu, Soreang, Kabupaten Bandung, Selasa (24/09/2019). Unjuk rasa itu dilakukan dalam rangka menyambut Hari Tani Nasional ke 59.

BACA JUGA :

Wah ! Polda Sebut Ada Kelompok Anarko Pada Aksi Di Depan Gedung DPRD Jabar

 

Sekjen GMNI Cimahi, Lingga Pangestu menuturkan, pemerintah dalam hal ini Pemkab Bandung melalui aparaturnya memaksa petani teh di Pangalengan untuk menanam kopi. Hal ini dijadikan skema untuk menyesuaikan komoditi pasar.

“Yang jadi masalah, teman-teman tani ini tidak memahami cara menanam kopi. Tapi lucunya dipaksa untuk menyesuaikan komoditi pasar,” kata dia disela-sela aksi unjuk rasa.

Lebih parahnya, kata dia, para petani di Pangalengan itu selama ini tidak pernah mendapatkan bimbingan teknis (Bimtek) dari dinas pertanian, bagaimana cara menanam kopi. Tentu saja, ujar Lingga, hal ini membuat para petani di Pangalengan kebingungan.

“Petani berhak atas apa yang akan mereka tanam di lahan mereka. Tidak boleh dipaksa. Ini menyalahi reforma agraria sejati yang pernah dinyatakan Bung Karno pada tahun 1960,” kata dia.

BACA JUGA :

Soal RUU KUHP, DPR: Ada Pasal yang Tidak Selaras dengan Kehidupan Bangsa Ini

 

Jika Bupati Bandung tidak mau menemui dan menepati tuntutan para pengunjuk rasa, Lingga berjanji akan datang kembali dengan ekskalasi massa yang lebih banyak lagi. Massa juga akan memblokade Jalan Alfathu sebagai bentuk kekecewaan terhadap Bupati Bandung.

Menurut Lingga, yang terjadi di Pangalengan adalah simbol nasib petani di Indonesia. Nasib petani yang sejatinya adalah mayoritas penduduk asli Indonesia justru hidup dalam kemiskinan.

Padahal, kata dia, banyak petani di Indonesia memiliki lahan yang cukup. Oleh karena itu, ALARM juga menyuarakan penolakan terhadap undang-undang pertanahan.

“Secara garis keturunan, masyarakat kita itu kelas tani. Tapi anehnya para petani justru miskin. Kebutuhan sehari-hari tidak tercukupi. Maka dari itu kami menolak undang-undang pertanahan dan ingin kembali ke konsep reforma agraria sejati Bung Karno,” kata dia.

Sesuai dengan reforma agraria sejati, kata dia, para petani harus punya tanah, alat produksi, dan pasar produksi sendiri. Sehingga petani bisa lebih sejahtera.

“Jangan sampai janji pemerintah soal sertifikasi tanah justru membuat petani rugi. Kami ingin kembali kesana (reforma agraria sejati). Kami tolak undang-undang pertanahan,” katanya. (R Wisnu Saputra/BandungKita.id)

 

Editor : Azmy Yanuar Muttaqien