Demi Bersekolah, Murid Ini Rela Bertaruh Nyawa Sebrangi Sungai Dengan Rakit

Garut, JabarKita679 Views

BandungKita.id, GARUT, – Sembilan orang anak kecil dalam langkah hati-hati, menyusuri setapak persawahan di Kampung Tegalkalapa, Desa Sukasenang, Kecamatan Banyuresmi. Kesembilan anak itu murid MI Nurul Huda yang hendak pulang setelah seharian menjejaki ilmu disekolahnya.

Sementara di tempat lain, Rizal (22) sang penarik rakit tengah menunggu murid-murid itu ditepi sungai, untuk mengantarkan mereka menyebrangi sungai menuju Kampung Pananggungan, Kelurahan Lengkong Jaya, Kecamatan Karangpawitan.

Sembari menenteng sepatu, mereka membersihkan kaki dari balutan lumpur yang melekat sejak menyusuri sawah. Satu-persatu mereka menaiki rakit sederhana dari deretan bambu milik Rizal.

Aliran sungai yang begitu deras tak menyulutkan semangatnya, bahkan tak satupun dari mereka melukiskan cemas dirautnya. Seolah terbiasa, mereka menikmati perjalanan diatas arus sungai walau bisa menelan nyawa. Di malam sebelumnya, sungai ini dikabarkan meluap sampai merendam  persawahan warga.

Dikri (13), salah satu murid yang menjadi penumpang perahu rakit. Menurutnya sekolah yang ada di Desa Sukasenang tersebut berjarak lebih dekat dari rumahnya. Ketimbang ke sekolah yang ada di kampungnya.

“Di Pananggungan ada sekolah. Tapi cukup jauh. Jadi lebih milih sekolah ke Nurul Huda di Sukasenang,” ujar Dikri saat akan menyebrang sungai, Minggu (27/1/2019).

Saat musim hujan seperti sekarang, Dikri mengaku kerap khawatir dengan debit air Cimanuk. Terkadang ia tak sekolah karena rakit tak bisa digunakan untuk menyebrang.

Jika debit air sungai besar, penarik rakit tak mau mengambil risiko. Alternatif lain, Dikri bersama kawannya harus memutar. Jaraknya pun tiga kali lipat lebih jauh.

Dengan menyebrang memakai rakit, Dikri hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit ke sekolah. Namun jika memutar jalan, ia harus menghabiskan waktu 30 menit ditambah ongkos yang mahal.

“Kalau mutar jalan harus ke Copong dulu. Dari rumah naik ojek ke Bundaran STM, bayar Rp 10 ribu. Terus naik angkot Rp 5 ribu,” katanya.

Jika hujan lebat muncul saat Dikri di sekolah, mau tak mau ia dan teman-temannya dari Kampung Pananggungan harus berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer ke arah Copong. Tak jarang seluruh baju dan sepatu basah kuyup.

“Yang penting bisa sekolah. Pengennya sih ada jembatan biar enggak muter jauh kalau sungainya lagi besar,” ucapnya.

Semangat Dikri bersekolah juga senada dengan Muhammad Dafa (11), kelas 5 MI Nurul Huda. Dengan memakai rakit untuk menyebrang, menurutnya lebih menghemat uang. Setiap menyebrang dengan rakit, ia hanya membayar Rp 1.000.

Enggak dipatok sama yang narik rakitnya juga. Tapi biasanya bayar Rp 1000,” ujar Dafa.

Di musim hujan, Dafa sering tak bisa masuk sekolah. Sungai Cimanuk yang deras membuat Dafa tak bisa menyebrang. Ia mengisahkan, rakit yang sering digunakannya juga sering terbawa arus Cimanuk. (DIN/Bandungkita.id)

“Dulu pas mau nyebrang, rakitnya kebawa sungai. Jadi enggak bisa sekolah. Nunggu rakitnya dibenerin. Kalau lewat Copong bisa habis Rp 30 ribu ongkosnya bolak-balik itu,” katanya.

Sama denga Dikri, Dafa berharap Kampung Pananggungan dan Kampung Tegalkalapa bisa dihubungkan dengan jembatan. Akses jembatan akan mempermudah ia dan warga di Panggungan menuju Tegalkalapa di Desa Sukasenang. (Rul/Bandungkita.id)

Comment