PPI : Sejarah Membuktikan, Beberapa Petahana Kalah Jika Penantangnya Kuat
Petahana di Survei Kuat, Namun Banyak yang Berakhir dengan Kekalahan
BANDUNGKITA.ID, BANDUNG – Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno mengingatkan para calon kepala daerah petahana agar waspada dan hati-hati. Meski para calon incumbent unggul dalam berbagai survei, mereka bisa terjungkal dan kalah.
Adi menjelaskan bahwa merupakan sesuatu hal yang wajar jika berbagai lembaga survei mengunggulkan para calon petahana di daerahnya masing-masing. Hal itu disebabkan karena para calon petahana memiliki tingkat approval ratting yang tinggi.
Video Pilihan:
“Secara teori, petahana yang maju kembali untuk yang kedua kalinya dengan approval ratting yang cukup tinggi relatively akan mudah untuk memenangkan pertarungan untuk yang kedua kalinya, itu rumus dasar. Itu kecenderungan rata-rata,” ujar Adi memulai analisisnya, seperti dikutip dari detik.
Namun, kata dia, para calon kepala daerah baik calon bupati/walikota maupun calon gubernur tetap wajib hati-hati dan waspada karena sejarah pilkada membuktikan, banyak calon petahana yang tumbang. Terlebih, jika ada penantang yang kuat dan beradu head to head.
Colase ilustrasi
(Bandungkita,id/creative)
Adi mengambil contoh, petahana Fauzi Bowo atau Foke yang kala itu didukung koalisi besar dengan mayoritas partai di DPRD DKI Jakarta. Fauzi Bowo yang ketika itu merupakan calon petahana, dikalahkan Jokowi-Ahok yang merupakan penantang baru.
Selain itu ia memberikan contoh anomali lainnya, di mana calon petahana juga tumbang oleh penantang baru yang telatig kuat dan populer. Ia menyebut Ahok yang jadi calon petahana, juga dikalahkan Anies Baswedan.
Video Pilihan:
Padahal, kata dia, baik Fauzi Bowo maupun Ahok yang ketika itu menjadi petahana, mereka kuat dalam berbagai survei. Namun mereka harus berakhir tumbang, dikalahkan sang penantang.
Oleh karena itu, Adi kembali mengingatkan agar para calon petahana waspada dan jangan menganggap enteng lawan. Pasalnya, kata dia, ada semacam anomali kutukan calon petahana.
Video Pilihan:
“Meski begitu dalam praktiknya, pilkada itu sering memunculkan sejumlah anomali yang susah ditebak. Dulu Foke maju sebagai petahana kalah dari pendatang baru melawan Jokowi dan Ahok. Setelah itu Ahok maju dengan approval rating yang tinggi, melawan Anies Baswedan, kalah di Jakarta, itu anomali. Bukan tidak mungkin petahana yang di survei itu kuat juga akan terjadi anomali,” tutur Adi.
“Itu hanya contoh, karena dalam pilkada banyak sekali anomali-anomalinya,” lanjut dia.
Selain di Jakarta, Adi Prayitno juga memberikan contoh petahana yang tumbang juga terjadi di Jawa Tengah. Pada Pilgub Jateng 2013, kata dia, petahana Bibit Waluyo ditumbangkan Ganjar Pranowo.
“Itu cuma contoh di mana petahana yang maju kedua kalinya, sekalipun elektabilitas diunggulkan di awal, pada akhirnya bisa kalah. Yang menentukan siapa penantangnya dan kerja-kerja politik nyata,” ungkap Adi.
Video Pilihan:
Ia mewanti-wanti anomali tumbangnya petahana bisa terjadi di daerah mana pun. Terlebih, jika petahana tersebut memiliki sosok penantang yang kuat, baik secara popularitas maupun elektabilitasnya.
“Kasus di Jakarta itu karena Anies sebagai penantang, relatif kuat dan signifikan sehingga bisa kalahkan Ahok. Atau misal kenapa Foke bisa dikalahkan oleh Jokowi? Karena faktor Jokowi dan Ahok itu dinilai sebagai penantang yang kuat. Begitu juga di Sumut, Bobby diprediksi juga akan menang kalau melawan Eddy Rahmayadi, karena penantangnya kuat di Sumut,” tutur dia.
“Tapi dalam kondisi normal, petahana yang maju kedua kalinya, dengan approval rattingnya tinggi, dia diunggulkan di survei, dan biasanya rata-rata menang. Kita tunggu terutama dari segi penantang, apakah penantang yang dimunculkan itu relatif kompetitif ataupun tidak,” jelas bos PPI tersebut.
(M Zen/BandungKita.id)
Comment