Kisah ‘Pribumi’ yang Reparasi Jam Sejak zaman Belanda

BandungKita.id, CIWIDEY – Beberapa buah jam kuno bandul produksi Jerman tahun 1950 nampak menempel di dinding berwarna hijau di sebuah toko reparasi jam berukuran 3×4 meter di Kampung Peer, Desa Ciwidey, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Nama toko reparasi jam itu adalah ‘Pribumi’.

Tak hanya jam kuno, beberapa jam tangan digital dan analog turut berjejer di lemari kaca di dalam toko tersebut. Di dalam toko, Usep Suryana (49) pemilik toko, tengah serius mereparasi jam tangan milik pelanggan. Tangannya cukup hati-hati membongkar satu per satu material jam tangan yang tengah ia reparasi.

Usep sendiri ternyata adalah pewaris keahlian reparasi jam dari sang kakek, Ardia, yang sudah berpulang. Usep merupakan pereparasi generasi ketiga. Sebelum Usep, Kaya (77), ayahandanya yang melanjutkan keahlian usaha di bidang reparasi jam dari Ardia sejak tahun 1940.

BACA JUGA:

Yena Iskandar Ma’soem Resmi Mendaftar Jadi Balon Bupati Bandung

 

Uniknya, Usep masih menggunakan alat lawas milik kakeknya untuk mereparasi jam milik pelanggannya. Alat lawas itu jenis bor dengan merek “Gold Gear”tipe 1278. Mungkin di Ciwidey, toko reparasi jam miliknya satu-satunya yang masih menggunakan alat lawas untuk mereparasi jam. Baik jam kuno maupun jam modern berbagai tipe.

“Usaha ini dari kakek. Kakek mulai usaha reparasi jam sejak tahun 1940,” ujar Usep di tokonya, Selasa (10/9/2019).

Disela-sela memperbaiki jam pelanggannya itu, Usep bercerita. Awal mula sang kakek terjun ke dunia reparasi jam yaitu saat menjelang pensiun menjadi mandor di salah satu Perkebunan Dewata, Pasir Jambu. Kakeknya dibawa pihak Belanda ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan reparasi jam.

Menurut dia, kakenya di Jakarta belajar reparasi jam langsung dengan orang Belanda. Selama di Jakarta, kakeknya itu betul-betul serius mengikuti latihan.

BACA JUGA:

Ribuan Pelamar Serbu Jobfair KBB

 

Sepulangnya dari Jakarta, kakeknya langsung membuat toko reparasi jam. Kakenya memilih nama toko dengan nama ‘Pribumi’ karena pada waktu itu memang banyak orang Belanda yang tinggal di Ciwidey selama jaman penjajahan.

Usep sendiri mulai belajar mereparasi jam dari sang ayah. Berikut mengenai sistem kerja jam itu sendiri. Saat wal belajar, ia baru duduk di bangku kelas 5 SD. Menurutnya, pada masa itu untuk mereparasi jam analog ia butuh waktu paling cepat satu bulan lamanya.

Namun karena sering belajar dan mereparasi jam, kini Usep sudah semakim cepat mereparasi jam. Tak kurang dari sehari, jam yang sudah ingin direparasi bisa diselesaikannya.

BACA JUGA:

Menkum HAM Yasonna Laoly Akan Pelajari Draf Revisi UU KPK

 

“Dulu awal-awal, mah, lama buat reparasi jam. Sekarang karena sudah terbiasa bertahun-tahun jadi cepat,” ujar Usep.

Saat ini pengguna jam di kawasan Pasirjambu, Ciwidey, dan Rancabali (Pacira) banyak yang mereparasi ke tokonya. Tak hanya Pacira, pelanggan dari luar Pacira juga sering datang ke tokonya untuk sekedar bertanya, konsultasi maupun mereparasi jam.

Usep menambahkan, dulu sempat menjamur usaha serupa di kawasan Pacira. Namun seiringnya waktu, toko-toko reparasi jam itu tutup dengan sendirinya. Tinggal hanya toko reparasi jam miliknya yang kini masih bertahan.

Bertahannya toko reparasi jam miliknya ternyata berkat kepercayaan pelanggan. Terlebih pelanggan turun temurun dari sejak jaman kakeknya. Apalagi, kebiasaan masyarakat di Pacira yang tidak langsung membuang jam yang sudah rusak turut memiliki andil.

“Masyarakat disini itu kalau punya jam, lalu jamnya rusak, tidak langsunh dibuang. Tapi kebiasaannya direparasi,” katanya.

Dalam sebulan, Usep mengaku bisa mereparasi puluhan jam rusak. Kecepatanya dalam mereparasi menjadi penentu pelanggan memilihnya untuk mengobati jam pelanggan yang jatuh sakit.

BACA JUGA:

Permintaan Air Bersih di Cimahi Masih Tinggi

 

Terlebih, Usep memberikan garansi hingga 2 bulan lamanya kepada pelanggan yang sudah mereparasikan jam kedirinya.

“Kalau jam manual (analog) paling seperempat jam selesai. Kalau digital bisa memakan waktu 2 jam,” katanya.

Usep mengatakan dari segi daya tahan terhadap rusak, jam-jam produksi lawaslah yang sebetulnya jadi juaranya. Namun, karena bentuk yang kurang modern dan keren, jam lawas kian semakin tidak dilirik.

“Digital itu praktis, gaul dan modis. Tapi cepat rusak. Beda sama jam lawas yang mayoritas masih analog. Itu tahan lama, enggak cepat rusak,” kata dia.

Karena tak ingin usaha warisan kakeknya hilang, Usep mengaku sudah menyiapkan generasi penerus perepasi selanjutnya. Penerus pereparasi itu tak lain adalah anak kandungnya sendiri yang kini masih duduk di bangku SMK.(R Wisnu Saputra)

Editor: Dian Aisyah

Comment