Fenomena Banjir Bandung Timur, dari Perusakan Lahan Hingga Tumpulnya Fungsi Pemerintah

BandungKita.id, BANDUNG – Hidup dengan rasa aman dan nyaman merupakan cita-cita banyak orang. Namun tidak bagi sejumlah warga di Bandung bagian Timur.

Pasalnya, wilayah Bandung Timur yang secara administratif terbagi dalam dua pemerintahan, antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Kerap dihantui amukan banjir bandang yang bisa datang kala hujan mengguyur.

Tercatat, pada 2019 telah terjadi sedikitnya tiga kali banjir di Bandung Timur. Pertama, pada Sabtu (9/2/2019), banjir bandang terjadi di Perumahan Jati Endah Regency, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung.

Kedua, pada Selasa (19/3/2019) banjir terjadi di Jalan Pasirjati, Desa Jati Endah, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung, akibatnya, satu rumah rusak.

Terbaru, pada Senin (2/4/2019) Siswa SD Aji Tunggal kelurahan Pasirendah, Kecamatan Ujungberung dikagetkan derasnya banjir bandang yang menerjang saat mereka larut dalam kekhusyuan belajar.

Akibat rentetan musibah tersebut banyak pihak sepakat bahwa rusaknya lahan di hulu menjadi salah satu penyebab banjir bandang terus terjadi. Tak hanya itu, pemerintah yang kebingungan menjadikan korban banjir terus bertambah, sementara regulasi dan ketegasan masih ragu-ragu dilakukan.

Hal tersebut disampaikan pengamat tata ruang ITB, Frans Ari Prasetya. Menurutnya, konversi lahan secara sembarangan dan alih fungsi lahan menjadi komplek perumahan-perumahan di wilayah atas menjadi penyebab banjir di hilir.

“Selain itu, bukan hanya perumahan yang menutup tanah melakukan peresapan, tapi juga lahan-lahan terbuka yang sudah dibeli orang tapi tidak digunakan, dan jadi kebun yg bukan tanaman keras sehingga tidak bisa mengikat air hujan dan tanah,” papar Frans kepada BandungKita, Selasa (2/4/2019).

Baca juga: Citarum Semakin Menyempit Akibat Proyek Oxbow Bojongsoang, Warga Ingin Pengembang Perhatikan Aspek Lingkungan

Potensi bencana di Kota Bandung, lanjut Frans, memang terjadi karena perilaku manusia yang tidak bisa memahami struktur alam atau bisa disebut dengan bencana ekologis.

“Secara geografi dan geologi, Bandung sudah berada dalam area patahan lembang yang sensitif terhadap bencana ditambah lagi pembangunan yang seporadis tanpa mengindahkan rencana tata ruang dan daya dukung ekologis, banyak sekali (pembangunanan) yang dipaksakan demi kepentingan ekonomi dan dalih investasi untuk peningkatan pendapatan daerah,” kata Frans.

Tak luput dari catatan Frans, soal banjir besar yang melanda Cicaheum. Menurutnya banjir tersebut tidak pernah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Banjir tersebut juga terjadi karena kerusakan lahan diwilayah atas.

“Pada periatiwa itu, jika menilik akar masalahnya, terletak di Kawasan Cimenyan, yang merupakan daerah kabupaten bandung dan sebagian kota bandung juga masuk kawasan Bandung utara, terjadi banyak alih fungsi lahan,” lanjut Frans.

Sejatinya, KBU memang menjadi salah satu dari banyak penyebab banjir yang kerap merugikan warga Kota Bandung. Tak cukup disana, saking pentingnya KBU, ada peraturan yang khusus mengatur penggunaan wilayah tersebut.

Yakni, tertuang dalam perda Pemprov Jabar, Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Kawaaan Bandung Utara sebagai kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat.

Dengan perda tersebut, maka Pemprov Jabar memiliki kewenangan untuk memperbaiki KBU dengan berkordinasi bersama Pemkab dan Pemkot Bandung untuk setidaknya menegur investor yang yang terus merusak KBU.

Baca juga: Milangkala ke-7, Paku Padjadjaran KBB Berkomitmen Lestarikan Seni dan Budaya Sunda serta Jalin Persaudaraan

Hentikan Saling Tuding dan Pingpong Tanggung Jawab

Pada praktiknya, menegakan Perda tidak semudah membalikan telapak tangan. Sandiwara saling menyalahkan antara Pemkot, Pemkab Bandung tak ketinggalan Pemprov Jabar kerap terkesan takut pada investor yang memilki ladang usaha di KBU.

“(Dalam menagakan Perda) sudah bisa ditebak akan saling salahkan antara Bupati Bandung dan Walikota Kota Bandung, tapi disisi lain KBU itu kewenangan Provinsi Jabar dibawah gubernurnya Ridwan Kamil dan akan juga angkat tangan dengan alasan kewenangan daerah otonomi,” lanjut Frans.

KBU yang memiliki fungsi dan peranan penting dalam menjamin keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan lingkungan hidup di cekungan Bandung, telah ditetapkan menjadi Kawasan strategis provinsi berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029.

Frans menilai, Kota Bandung yang kerap dirugikan atas banjir tersebut, belum telihat serius menangani bencana. Baik ditunjau dari sisi regulasi maupun tindakan preventif.

“Kita juga bisa periksa terkait perubahan rencana tata ruang wilayah Kota bandung diakhir masa pemerintahan Ridwan Kamil, apakah terkait dengan pola alih fingsi lahan yang sangat masif terjadi dikawasan itu dalam 5 tahun terakhir,” tegas Frans.

Di sisi lain, celakanya, Kota Bandung tidak punya BPBD sendiri dan masih digabung dengan dinas kebakaran.
Frans mengaku heran, sekelas Kota Bandung yang rawan resiko bencana tapi tidak punya lembaga khusus terkait penanggulangan bencana.

Baca juga: Kisah Abah Kurdi, Pengrajin Kompor Sumbu di Tengah Perubahan Zaman

Nampaknya, gagasan Pemprov Jabar membuat modul penanggulangan bencana bernama Jabar Resilience Culture Blue Print perlu segera diprakatikan. Untuk Kota Bandung juga belum punya pijakan pasti bagaimana menanggulangi bencana yang kerap melanda Paris Van Java

“Apakah penanggulangan bencana seperti ini bisa di download pakai aplikasi secara gratis sebagai bagian dari kota yang smart dan kreatif itu? Kemana tombol panik yang smart yang katanya bisa membantu warga dalam situasi panik seperti jika banjir tiba-tiba melanda sebagaimana yang terjadi di Cijambe ?,” pungkas Frans. (Tito Rahmatullah/BandungKita).