Kapan Rakyat Menjadi Raja?

Opini398578 Views

 

Oleh: Yoga Rukma Gandara, ST, MT || Kabid P2B Dinas PUPR KBB

BandungKita.id, OPINI – Pembangunan di Indonesia telah melewati beberapa era, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi dan era Milenial. Akan tetapi masih belum dirasakan terutama oleh rakyat kecil keberpihakan pembangunan terhadap mereka, keberpihakan masih milik kaum tertentu, mulai dari birokrat, politikus,  pengusaha atau pemilik modal.

Kapan Rakyat kecil bisa merasakan keberpihakan pembangunan kepada mereka masih tanda tanya. Jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, mendapat prioritas pelayanan umum yang cukup  mudah pun masih sulit diwujudkan.

Baca Juga:

Jalan Perjuangan Perempuan Indonesia Mencapai Cita-cita Keadilan Gender

Bukan rahasia umum lagi kalau rakyat kecil mengurus sesuatu urusan kalau tidak dibarengi oleh uang pelicin masih sulit dipermudah. Sekarang ada jaminan kesehatan, Kartu Pintar, dll, tapi seperti yang kita ketahui jaminan-jaminan sosial tersebut ketika akan digunakan harus memenuhi persyaratan tertentu.

Kita belum banyak mendengar begitu ada masyarakat sakit tanpa harus menanyakan apakah punya BPJS atau tidak,  masyarakat sakit tersebut langsung diobati atau dirawat. Ada sih daerah yang sudah menerapkan jemput bola yang sakit, diobati atau dirawat petugas yang menguruskan administrasi jaminan sosial tersebut tapi masih banyak daerah yang belum peduli juga.

Video Pilihan:

Tiap era pembangunan di Indonesia memunculkan kaum elit tertentu yang menjadi “Raja” (pionir), misalnya ketika orde baru yang menjadi “raja” adalah pihak birokrat dan TNI, ketika awal reformasi yang menjadi “raja” adalah pihak legislatif (politikus), kemudian berubah yang menjadi “raja” pihak yudikatif.

Di era sekarang yang menjadi “raja” adalah saling bersaing dan berlomba antara yudikatif, legislatif dan eksekutif. Mereka saling berlomba menunjukan powernya. Lalu kapan rakyat yang menjadi “raja” di negara tercinta Indonesia ini ?

Secara kasat mata  memang pernah rakyat Indonesia menjadi raja, ketika sebagian rakyat menjadi tokoh politik (yang katanya mewakili rakyat) baik yang menjadi kepala daerah maupun anggata DPD, DPR maupun DPRD. Akan tetapi pada kenyataannya ketika mereka masuk ke dalam kaum elit tertentu keberpihakan kepada masyarakat masih jauh sekali.

Mereka masih mementingkan kepentingan pribadi dan partai atau golongan. Banyak kebijakan mereka yang menyakiti hati rakyat yang memilihnya.

Alangkah indah dibayangkan apabila rakyat Indonesia terpenuhi jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, mendapat prioritas pelayanan umum, mudah mengurus sesuatu. Memang butuh kerja keras semua pihak untuk mewujudkan hal tersebut dan kepemimpinan yang kuat di negara ini. Selama nafsu lahiriah masih bercokol di hati semua pihak akan sulit mewujudkan hal tersebut.

Banyak cerita rakyat yang menceritakan ketika rakyat biasa menjadi Raja/Pemimpin, seperti ‘Abu Nawas Menjadi Raja’, atau kalau di Sunda ada ‘Si Cepot Jadi Raja’, atau pun cerita cerita lain yang menceritakan bahwa raja dipilih dari rakyat biasa bukan dari kaum bangsawan. Seharusnya kepemimpinan rakyat secara personal  harus bisa direpresentatifkan kepemimpinan rakyat secara kolektif juga.

Di Indonesia pemilihan pemimpin, baik itu Nasional maupun daerah dan pemilihan anggota dewan, rakyat memilih langsung sesuai dengan pilihannya. Rakyat pun melalui (lagi-lagi) partai dapat mencalonkan diri jadi pemimpin.

Akankah kepemimpinan kolektif rakyat dapat diwujudkan melalui mekanisme ini, masih menjadi tanda tanya yang besar.  Saya pribadi menjadi tidak begitu perduli apakah rakyat mau milih langsung atau tidak yang penting siapa pun yang menjadi pemimpin harus bisa membawa rakyat menjadi raja di rumah sendiri. Salah satu ciri rakyat sudah kurang percaya adalah dengan adanya kotak kosong yang menang dalam pemilihan. ( Yoga Rukma Gandara, ST, MT )