Hati-hati Bermain Medsos! Benarkah Efek Media Sosial Seperti Narkoba

BandungKita.id, LIFESTYLE – Karin Novilda atau akrab disapa Awkarin tak pernah sepi dari perhatian warganet.

Setelah beberapa waktu lalu menghilang dari Instagram yang membesarkan namanya, pada hari Senin (22/10/2018), ia muncul lagi lewat video berjudul “I Quit Instagram” yang diunggah ke Youtube.

Awkarin mengaku sempat mengalami depresi gara-gara media sosial. Ia bahkan mengaku pernah didera kecemasan yang luar biasa dan selalu merasa takut.

Nah, pada kesempatan ini BandungKita.id akan membahas tentang dampak media sosial bersama pakar dan psikolog. Berikut kami sampaikan ulasannya, cekidot.

Berkaitan dengan media sosial dan pengaruhnya, kami meminta tanggapan dari dua psikolog, yakni Kasandra A. Putranto, seorang psikolog klinis, dan Linda Setiawati dari Personal Growth.

Kasandra dan Linda sepakat bahwa media sosial dapat memberi dampak besar, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Terlebih saat ini, hampir semua orang menggunakan handphone dan gadget ini telah menjadi suatu kebutuhan.

“Media sosial akan merefleksikan kualitas psikologis seseorang dan sebaliknya, kualitas psikologis seseorang akan sangat mempengaruhi perilakunya dalam beraktivitas di media sosial,” kata Kasandra melansir kompas.com.

“Lebih lanjut lagi, berdasarkan teori Primming, segala hal dari media sosial bisa diyakini kebenarannya, karena memang media membentuk pengetahuan dan sikap seseorang,” imbuhnya.

Linda menambahkan, munculnya media sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana pengguna memanfaatkannya.

Bisa saja kita menggunakan media sosial sebagai sarana belajar dan berinteraksi dengan orang lain, namun di sisi lain bisa berdampak negatif ketika kita turut serta menyebarkan hoax melalui media sosial.

“media sosial dapat berdampak bagi diri sendiri maupun dalam hal hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan sosial dengan orang lain dapat terganggu ketika seseorang lebih mementingkan hubungan di media sosial dibandingkan hubungan tatap muka langsung dengan orang lain, termasuk hubungan dengan orang terdekat,” jelas Linda, Kamis (25/10/2018).

Kecanduan media sosial Orang-orang yang sangat ketergantungan menggunakan gadget dan media sosial, terutama dengan intensitas waktu dan kegiatan yang tinggi, juga sangat mungkin membuat kecanduan.

Ciri-ciri individu yang mengalami kecanduan media sosial antara lain mereka mulai menghabiskan hampir sebagian besar waktunya untuk menggunakan media sosial, merasa cemas ketika tidak menggunakan media sosial, dan bahkan sampai mengganggu aspek kehidupan lainnya.

“Kecanduan pasti mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Bisa saja kecanduan media sosial membuat seseorang tidak bisa berfungsi maksimal, baik aktivitas diri sendiri seperti menjadi lupa mandi atau makan karena menghabiskan waktu untuk bermain media sosial, dan performa kerja menjadi tidak optimal akibat penggunaan media sosial. Kondisi tersebut menjadi indikasi kesehatan mental individu terganggu,” kata Linda.

Linda pun mengatakan, setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk diapresiasi maupun mendapat pengakuan. Kalau dulu apresiasi mungkin diberikan lewat penghargaan dalam sebuah kompetisi, di masa modern ini orang berlomba untuk mendapat banyak likes di media sosial. Artinya, hal ini tidak hanya dialami oleh Awkarin.

“Seseorang tinggal posting, mendapatkan like, yang kemudian membuat individu merasa ia disukai. Kondisi ini menyebabkan orang menjadi mudah merasa kecewa, kondisi emosional terganggu karena bergantung pada respons positif lingkungan yang diindikasikan dengan likes,” ujar Linda.

“Pada kenyataannya, respons dari lingkungan adalah hal yang sulit untuk kita kendalikan dan bukan kapasitas kita untuk mengatur respons orang lain”.

Dalam kasus seperti yang pernah dialami Awkarin, di mana ia mengaku akan sangat bahagia bila mendapat banyak perhatian lewat postingan media sosialnya, Kasandra berkata bahwa hal seperti ini umumnya terjadi pada mereka yang memiliki kadar dopamine rendah atau terbatas.

“Orang dengan kadar dopamine rendah akan berusaha melakukan hal-hal tertentu demi memperoleh dopamine. Namun, hal ini tidak berlaku otomatis pada setiap orang. Mereka yang tidak memiliki masalah dopamin tentu memiliki potensi risiko rendah menjadi adiktif (gadget),” jelasnya.

Untuk menghindari masalah seperti ini, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah belajar untuk mengontrol diri sendiri untuk tidak hanya menggunakan gadget setiap ada kesempatan.

“Jika sudah mulai memunculkan kecenderungan ke arah sana, maka perlu diwaspadai. Langkah nyata yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak aktivitas riil di lingkungan, memperbanyak pertemuan atau interaksi tatap muka dengan orang (bukan di dunia maya), ikut dalam kegiatan komunitas, atau bisa juga berolahraga,” jelas Linda.

“Kuncinya keseimbangan. Segala hal yang ada di dunia ini tidak baik bila terlalu banyak, dan tidak baik bila terlalu sedikit. Manfaatkanlah gawai dan media sosial secara proporsional,” tutup Kasandra.(ZEN/BandungKita.id)

Comment