Selamat Hari Perempuan Internasional! “Jalan Perjuangan Perempuan Indonesia Mencapai Cita-cita Keadilan Gender”

Netizen, Opini, Terbaru56315 Views

SOSOK perempuan yang dianggap lemah, justru mempunyai dan mampu melahirkan kekuatan hebat dan dapat mendatangkan ketakutan karena membuka kemunafikan, yang diselimuti agama dan prasangka.” (Sumber : Perempuan di Titik Nol , Nawal El-Saadawi)

Kutipan diatas mewakili demonstrasi mahasiswi yang terjadi kali ini. tentu tidak saja di dominasi oleh mahasiswa, mahasiswi pun ikut serta dalam menyuarakan aspirasi perjuangan sekaligus mendidik pemerintah.

Ini artinya mahasiswi menunjukan kekuatan progesifitas intelektual, mental bahwa perempuan mampu melawan relasi kuasa yang menindas. Dari tujuh tuntutan yang mereka perjuangkan mayoritas mahasiswi menekankan pada soal pengesahan RUU penghapusan kekerasan Seksual.

Baca Juga:

Perempuan di Jabar Didorong Melek Digital

Perempuan Jenggala Gandeng Swasta hingga Kodam III/Siliwangi Gelar Vaksinasi di Banjaran

Artinya bicara menyoal hak asasi perempuan. Setidaknya ada dua makna yang terkadung didalamnya, yakni:

  1. Hak asasi perempuan hanya dimaknai sekedar berdasarkan akal sehat. Logika yang dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan karenanya sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi. Masalahnya dalam realitas memperlihatkan tidak serta merta pengakuan bahwa perempuan adalah manusia juga berdampak terhadap perlindungan hak-hak dasar mereka sebagai manusia.
  2. Di balik istilah hak asasi perempuan terkandung visi dan maksud transformasi relasi sosial melalui perubahan relasi kekuasaan berbasis gender. Makna ini lebih revolusioner karena adanya pengintegrasian hak asasi perempuan kedalam standar Hak Asasi Manusia (HAM).

Hak asasi perempuan di Indonesia cukup menonjol. Menurut UUD 1945, secara formal tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Pasal 27 UUD 1945 misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa semua orang sama kedudukannya di hadapan hukum, akan tetapi, dalam praktiknya perempuan secara de jure jauh berbeda dengan kedudukannya secara de facto.

Sebenarnya, kedudukan perempuan secara formal cukup kuat sebab banyak ketentuan dalam berbagai Undang-Undang serta peraturan-peraturan lain yang memberi perlindungan yuridis padanya.

Selain itu, Indonesia pun telah meratifikasi dua perjanjian, yaitu perjanjian mengenai hak politik perempuan (convention on the political rights of women) dan perjanjian mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the political elimination of all forms of discrimination againts women atau CEDAW).

Sementara pada 1993, Indonesia telah menerima deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan perempuan. Akhirnya, dalam Undang-Undang Pemilu 2004 dibuka kesempatan agar perempuan dipertimbangkan menduduki kursi 30% kursi wakil rakyat.

Ada tiga isu utama yang berkaitan dengan hak perempuan di Indonesia, yakni kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, kewarganegaraan, dan perdagangan perempuan dan anak.

Meski membutuhkan waktu yang panjang, pada akhirnya dewan perwakilan rakyat bersama dengan pemerintah (Presiden Republik Indonesia) mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, tentang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Dalam UU tersebut ini menunjukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non-diskriminasi dan perlindungan korban.

Meskipun belum memuaskan masyarakat, khususnya kalangan aktivis perempuan, tapi secara umum UU ini sudah merupakan langkah maju dalam mempromosikan hak asasi manusia, khusunya hak asasi perempuan.

Dalam konteks ini, Ir. Sukarno jauh-jauh hari sudah memikirkan solusi-solusi menyoal permasalahan perempuan, dalam karya bukunya “Sarinah”.

Pergerakan feminisme mengadakan desakan yang maha hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu yang menolak mereka dari proses masyarakat itu. Kalau perempuan kali ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk-makhluk tidak berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit dan kekaum laki-laki, tetapi dapat mencari nafkahnya sendiri, lambat laun puteri-puteri itu diizinkan masuk sekolah-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-kantor, dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter, advokat, insinyur.”

“Banyak perempuan yang berubah menjadi perempuan yang sportif, yang cakap, yang tak selalu butuh pertolongan, yang dapat meringankan bebannya. Perempuan-perempuan yang seperti itulah perempuan yang riang, sigap, sehat, cakap bicara, ‘sedikit kurang ajar’, tangkas bagai rusa.” kutipnya Ir. Sukarno dalam bukunya.

Sudah sepatutnya hari ini perempuan memperlihatkan taring-taring pergerakannya, bukan hanya melawan stigma bahwa perempuan berkutat pada persoalan dapur, kasur, sumur atau manusia lemah, namun juga menunjukan prestasi tinggi di segala sektor kehidupan.

Man works From rise to set of sun, Woman’s work is never done

Sadarlah kaum perempuan, bergerak dan berjuang. Panjang umur semangat baik, panjang umur perempuan yang berpikir dan melawan.

Oleh: Dani Ramdani