BandungKita, BANDUNG – 20 tahun silam tepatnya pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa, setelah tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Sidang itu bertujuan untuk menentukan Pemilu dan membahas agenda-agenda pemerintah.
Namun mahasiswa dan masyarakat memprotes sidang tersebut karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul.
Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Bukan malah mengendur, aksi mahasiswa turun kejalan makin masif. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung dalam unjuk rasa itu diperkirakan puluhan ribu orang. Mereka merangsek masuk mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya.
Tanggal 13 November sekitar jam 15:00 WIB, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat sebagian peserta aksi melarikan diri, sementara mahasiswa yang mencoba bertahan dikagetkan dengan suara tembakan membabibuta oleh aparat. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas mencapai 17 orang warga sipil terdiri dari berbagai kalangan, dan ratusan korban luka tembak, dan terkena benda tumpul. Mereka yang meninggal dunia adalah, Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan (Mahasiswa Atma Jaya), Tedy Mardani (Mahasiswa ITI ditembak dengan peluru tajam), Sigit Prasetyo (Mahasiswa YAI ditembak dengan peluru tajam) dan Engkus Kusnaedi (Mahasiswa Unija Pulau Mas ditembak dengan peluru tajam), dan
Selain itu Heru Sudibyo (Mahasiswa STIE Rawamangun), Muzammil Joko Purwanto (Mahasiswa UI), Uga Usmana (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah), Lukman Firdaus (pelajar), Agus Setiana (pelajar), Doni Efendi (Karyawan Toko di Pasar Bendungan Hilir), Rinanto (Satpam Hero Supermarket), Budiono, Sidik, Sulwan Lestaluhu, Sulaeman Lestaluhu, Wahidin Nurlete dan Budi Marasabesy.
Jalan di Tempat
Dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dengan 50 orang perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan pada April 2002.
Di tahun berikutnya, Kejaksaan Agung menolak dengan alasan kasus tersebut sudah disidangkan melalui pengadilan militer, sehingga tidak dapat mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Padahal menurut Komnas HAM, peradilan militer hanya menjerat pelaku lapangan, sementara pelaku utama belum diadili.
Pada Maret, dalam rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan Kejaksaan Agung, pihak Kejakgung tetap bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, Komisi III juga memutuskan pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang hilang.
Pada 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna pada 20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya.
Optimisme sempat muncul selama masa kampanye pemilihan presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan mereka untuk mencapai kedaulatan politik.
Pada April 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998.
Namun Kontras menilai dalam pemerintahan Jokowi dan setelah 20 tahun reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan hanya jalan di tempat namun mengarah pada kemunduran.***(Res)
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=n4kEyIWRx60[/embedyt]
Comment