Limbah Sungai Citarum Sulit Diuraikan, LIPI Tawarkan 3 Solusi Ini

BandungKita.id, SOREANG – Penanganan Sungai Citarum melalui aksi Citarum Harum terus dilakukan. Sungai terpanjang di Jawa Barat tersebut digadang-gadang bersih pada tahun 2025.

Tak seperti membalikan telapak tangan, masih saja banyak oknum ‘nakal’, baik industri maupun masyarakat sekitar yang disinyalir masih getol menyumbangkan limbah ke Citarum. Tak pelak hingga saat ini Sungai Citarum masih menjadi sungai paling tercemar di dunia.

Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LPTB-LIPI), Sri Priatni, mengatakan limbah domestik baik itu limbah rumah tangga maupun limbah ternak merupakan sumber pencemaran paling tinggi. Bahkan kapasitasnya mencapai 60-70 persen dari beban pencemaran yang saat ini melanda Citarum.

“Pencemaran di Citarum ini paling tinggi karena limbah dari WC yang tidak terolah dan sampah rumah tangga, diperburuk dengan tambahan limbah kotoran ternak yang jumlahnya ribuan di sekitar titik nol Citarum,” kata Sri di LPTB LIPI, Jalan Cisitu Lama, Kota Bandung, Senin (25/3/2019) lalu.

Limbah domestik, kata Sri, seringkali dianggap tak berbahaya lantaran debit limbahnya yang mengalir ke sungai tidak secara langsung dalam jumlah banyak. Namun jika dihitung secara keseluruhan, jumlah limbah domestik di Citarum lebih besar dari pada limbah sisa industri.

Meski begitu, lanjut Sri, pihaknya kini tengah mengembangkan teknologi toilet pengompos yang berfungsi meredam dampak polusi limbah domestik, dan bisa menciptakan pupuk kompos untuk tanaman.

Teknologi toilet pengompos ini cocok di lingkungan yang memiliki keterbatasan debit air bersih. Serta minim sarana pendukung perilaku hidup bersih atau sanitasi.

Baca juga: Dadang Naser Optimistis Penanganan Pencemaran Sungai Citarum Tuntas Dalam 7 Tahun, Segini Anggaran yang Digelontorkan

“Toilet ini bisa menggantikan keberadaan WC umum sepanjang aliran anak sungai Citarum, fungsinya polusi kotoran manusia bisa dikurangi dan kualitas sanitasi masyarakat bisa meningkat, komposnya bisa dipergunakan tanaman,” kata Sri.

Terkait limbah ternak, peneliti LPTB LIPI lainnya, Neni Sintawardani menjelaskan pihaknya juga telah berhasil menerapkan teknologi pengolahan limbah cair, dari industri tahu secara anaerobic dengan teknik multi-tahap di sentra industri tahu di Giriharja, Sumedang.

“Secara teknis, teknologi ini dapat menjadikan limbah industri menjadi layak buang ke sungai dan biogas yang dihasilkannya telah digunakan oleh 88 rumah tangga di sekitarnya. Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk penanganan kotoran hewan,” ujar Neni.

Tak hanya di Sumedang, teknologi tersebut juga telah diterapkan di Kecamatan Kiaracondong. Di lokasi tersebut, kata neni 57 persen warga masih membuang kotorannya ke sungai.

“Sudah diterapkan di Kiaracondong ke 10 KK yang tidak punya (toilet), mereka pakai dengan senang hati,” tutur Neni.

Di samping itu, Selain limbah ternak dan limbah rumah tangga, LPTB LIPI menilai limbah industri juga tak bisa dianggap remeh. Bahkan, berdasarkan riset LPTB LIPI sebagian industri di Citarum merupakan limbah berbahaya yang sulit terurai alami.

“Penanganan Citarum di daerah hulu terutama di kawasan Bandung Raya menjadi titik perhatian utama LIPI karena ada 8 anak sungai yang sebagian besar mengalir melewati permukiman padat di Bandung Raya dan memegang porsi 5 persen dari keseluruhan polutan domestik Citarum,” pungkas Sri. (Tito Rahmatulloh/Bandungkita.id)

Editor: Dian Aisyah

Comment