Suasana Kota Bandung 17 Agustus 1945: Walikota Bingung dan Menangis Karena Pemuda Berontak

BandungKita.id, SEJARAH – Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 oleh Soekarno didampingi Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Lambat laun berita pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia itu tersiar ke seluruh penjuru negeri. Selain menyambutnya dengan suka cita, rakyat juga kebingungan. Bandung menjadi salah kota yang mengalami situasi tersebut.

“Berhubung pengawasan militer Jepang yang masih kuat, di Bandung pun telah ada bermacam-macam kelompok lokal yang sulit dikoordinasikan. Seperti halnya di berbagai tempat di Indonesia,” tulis A.H. Nasution, dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1.

BACA JUGA :

Hari ini Gedung Sate Genap Berusia 100 Tahun, Begini Sejarah Singkatnya

Usia ITB Genap 100 Tahun, Begini Sejarah Singkatnya

LSM Trapawana 18 Tahun Berbakti Untuk Masyarakat, Begini Pendapat Warga KBB

Meski demikian, para pemuda Bandung tidak kehabisan akal untuk mengabarkan proklamasi. Alih-alih nyali yang ciut, semangat mereka jadi lebih berkobar untuk mengabarkan berita kemerdekaan Indonesia di kotanya.

“Kami bergegas ke balai kota dengan menaiki sepeda masing-masing, untuk menemui Shicho (Walikota). Walikota Bandung ketika itu adalah Pak Atmadinata. Beliau sudah sepuh,” kenang Achmad Tirtosudiro dalam biografinya, Jenderal dari Pesantren Legok: 80 Tahun Achmad Tirtosudiro karya Rayani Sriwidodo.

Para pemuda itu meminta walikota untuk menginstruksikan perintah penurunan bendera Jepang yang tersebar di sudut-sudut Kota Bandung, dan diganti oleh bendera merah putih. Para pemuda yang menemui Walikota diantaranya adalah Mashudi yang kelak menjadi Gubernur Jawa Barat periode 1960-1970, serta Achmad Tirtosudiro yang nantinya jadi Letnan Jenderal.

Suasana pelucutan senjata dan kendaraan Jepang oleh pemuda Bandung pasca proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan. (Repro Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid I karya A.H. Nasution).

Akhirnya para pemuda itu berhasil menemui Walikota, Achmad dan Mashudi langsung menanyakan sikap Atmadinata atas situasi kemerdekaan. Namun bukannya mendapat perintah yang jelas, Walikota itu malah kebingungan.

Sebelum situasi bertambah kacau, para pemuda sudah tidak sabar dan mendesak Walikota untuk segera bertindak. Tapi bukannya mengambil sikap, Atmadinata malah nyaris menangis karena bingung, Walikota sepuh itu tidak berani mengambil tindakan sebelum ada instruksi resmi.

Karena ketidaktegasan sang Walikota, situasi semakin tidak menentu. Para pemuda itu kembali memacu sepedanya untuk segera pergi menemui Syucho (Residen). Karesidenan Priangan saat itu dipimpin oleh Puranegara.

Lagi-lagi perintah yang tidak jelas dan tegas mereka terima dari residen. Para pemuda melihat kenyataan bahwa para pemimpinnya yang tidak mampu menentukan sikap dalam situasi yang harus serba cepat itu.

“Kami malah tidak mendapat pengarahan sama sekali, padahal para pemuda sedang haus-hausnya akan kepastian tindakan yang harus dilakukan ketika itu,” kata Achmad.

BACA JUGA :

BERITA FOTO: Melihat Sejarah Kota Kembang di Museum Bandung

Dalam Setahun, Museum Gedung Sate Sedot 116.859 Pengunjung

Inilah Asal Muasal Nama Lapangan Gasibu, Benarkah Dari Kata Gazeebo?

Karena pertimbangan-pertimbangan militer dari para pemuda Bandung mengalami jalan buntu, mereka memutuskan untuk menunggu instruksi dari Jakarta. Nasution menyebut bahwa keyakinan para pemuda dan barisan rakyat Bandung sangat besar terhadap para pemimpin di pusat.

“Seharusnya kita jangan berat sebelah dalam memperhitungkan pemberontakan secara militer. Ternyata keyakinan itu sangat naif,” tulis Nasution seperti dilansir BandungKita.id dari Historia.

Walau masih ragu-ragu karena tekanan polisi Jepang, tanpa disangka-sangka akhirnya beberapa kelompok rakyat Bandung melakukan pergerakan. Mereka berani melakukan aksi turun ke jalan, mahasiswa dan masyarakat bersatu melakukan aksi demonstrasi. Dengan cepat, senjata dan kendaraan milik pasukan Jepang berhasil diliucuti. (*).

Editor : Azmy Yanuar Muttaqien

Comment