Bandungkita.id, JAKARTA – Dalam rangka hari Bhayangkara Ke-73, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan sebuah laporan bertajuk “Netralitas, Diskresi, dan Kultur Kekerasan Masih Menjadi Tantangan Polri,” Senin (1/7/2019).
Dalam laporan itu KontraS mencatat institusi kepolisian masih menduduki peringkat pertama dalam daftar institusi yang kerap melakukan praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
Pertama, sedikitnya telah terjadi 643 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian, mulai dari tingkat Polsek hingga Polda, dengan beragam tindakan, seperti penembakan, penyiksaan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka dan tewas.
Kedua, penggunaan kewenangan dan diskresi oleh anggota Polri dengan menggunakan kekerasan dalam penanganan kasus atau proses penegakan hukum, serta ketiga pengawasan yang lemah oleh pihak internal maupun eksternal kepolisian.
Mengenai kultur kekerasan, pada periode Juni 2018 hingga Mei 2019, angka penyiksaan di institusi Polri berjumlah 57 kasus. Sejumlah 49 kasus bermotif untuk mendapatkan pengakuan dari korban. Temuan lainnya dalam periode 2018–2019 ini menunjukkan bahwa terdapat setidaknya sebanyak 51 peristiwa salah tangkap.
Di sisi lain, KontraS juga menemukan tindakan penyiksaan oleh Polri dengan menggunakan binatang sebagai instrumennya.
“Hal ini kami temukan pada penanganan kasus dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Hiron Hiluka, warga Kampung Ibele, Papua. Kejadian bermula pada tanggal 4 Februari 2019,” kata Koordinator KontraS, Yati Andriyani dalam laporan resminya, Senin (1/7/2019).
Baca juga:
100 Orang Dapat Perpanjangan STNK Gratis di Mapolres Garut
Seperti diketahui, anggota Polres Jayawijaya melakukan penangkapan terhadap seorang pelaku terduga penjambretan ponsel yang terangkap tangan oleh warga di Wamena, Jayawijaya, Papua.
Pada saat hendak melakukan proses interogasi terhadap pelaku, anggota kepolisian yang bertugas melakukan proses interogasi tersebut mengeluarkan seekor ular kemudian dililitkannya di tubuh pelaku dengan maksud mendapatkan pengakuan dari pelaku atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.
Selain itu, dalam melakukan proses interogasi tersebut, pihak kepolisian juga dengan sengaja merekamnya.
KontraS masih menemukan bahwa anggota Polri masih kerap menggunakan praktik penyiksaan untuk menggali informasi atau sebagai bentuk penghukuman terhadap tersangka atau pelaku kriminal. Tindakan ini banyak terjadi pada tingkatan Kepolisian Resor (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek) di wilayah Indonesia.
Masih tinggi angka penyiksaan oleh Anggota Polri menunjukkan bahwa institusi kepolisian tidak menjadikan peristiwa–peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh anggotanya sebagai upaya untuk mengevaluasi dan mengkoreksi kerja–kerja Polri di lapangan.
“Selain itu, praktik penyiksaan yang terjadi sudah menjadi pola di tingkatan kepolisian, antara lain, gagalnya polisi dalam mendalami informasi terkait sebuah peristiwa, kultur kekerasan yang tinggi, dan tiadanya sanksi/hukuman yang membuat jera,” jelasnya.***
Comment