Woow! Minim Bantuan Pemkab dan KONI KBB, Tim Arung Jeram Asal KBB Ini Raih Juara Dunia di Australia

Kisah Perjuangan Para Pemuda Rajamandala Raih Juara Dunia Rafting

BandungKita.id, KBB – Lagu Indonesia Raya menggema di panggung World Rafting Championship River Tully, setelah tim putra U-19 asal Indonesia dengan nama Club Kapinis meraih juara II pada kejuaraan arung jeram internasional pada Mei 2019 lalu di Australia.

Tim yang mewakili di ajang kejuaraan internasional tersebut, tidak hanya mengantar Indonesia ke panggung dunia. Namun, nama Kabupaten Bandung Barat (KBB) ikut harum tercium oleh dunia.

Kawan-kawannya biasa memanggilnya Opik. Nama asli Taufik Hidayatulloh (19) salah satu anggota tim Kapanis yang mengantar Indonesia juara II pada kejuaraan arum jeram dunia. Opik lahir dan besar di Kampung Cisameng, Rt 02 Rw 25 Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Sungai yang menjadi batas wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur, menjadi saksi kerasnya perjuangan Opik. Tiap hari Opik berlatih di sana.

Siapa sangka, dibalik medali perak dan perunggu yang harumkan nama Indonesia, ada jejak haru yang ditempuhnya selama perjalanan ke Australia.

Ilustrasi tim arung jeram Indonesia di kejuaraan Internasional (foto:net)

Berangkat ke Australia dengan Minim Biaya.

Sebelumnya, Opik bersama tim memenangkan medali emas pada kejuaraan nasional di Tasikmalaya. Kejuaraan tersebut merupakan babak penentu bagi tim yang berhak mewakili Indonesia bertanding di kejuaraan arum jeram di Australia.

Perdebatan panjang pun terjadi di internal tim. Keputusan untuk menentukan berangkat atau tidaknya ke kejuaraan internasional di Australia, ditentukan oleh ketersediaan dana. Sementara, dana dan barang yang dimiliki masih banyak yang kurang. Dayung, helm, sepatu, kaos tim dan sejumlah alat pendukung lainnya harus dibeli dengan rupiah yang tidak murah.

“Sempat dilema mau diambil ke Australia atau enggak. Dilemanya karena kita enggak ada dana untuk berangkat,” ujar Opik saat disambangi BandungKita.id. beberapa waktu lalu.

Keputusan tim akhirnya diketuk. Kapanis memutuskan untuk berangkat dengan cara iuran anggota tim. Pelatih tim memilih menjual satu unit mobil Kijang untuk biaya transport.

Sementara, anggota tim mencari tambahan dana untuk membeli dayung dan sejumlah alat pendukung pertandingan. Tak ada bantuan sedikit pun dari KONI KBB maupun Pemkab Bandung Barat.

“Karena eng gak punya uang, satu-satunya cara ya dari uang bonus dari Porda Jabar 2018 kemarin. Tapi sampai saat itu bonus belum juga cair. Akhirnya jalan lain ya ngutang dulu ke salah satu atlet Kabupaten Bandung. Kebetulan dia udah cair dan mau ngasih pinjem,” papar Opik.

Ilustrasi tim arung jeram Indonesia pada kejuaraan internasional (foto:net)

Uang hasil pinjam tersebut, lalu dibelanjakan untuk membeli dayung seharga Rp 4,5 juta per satu dayung. Sementara yang dibutuhkan sebanyak enam dayung.

“Untuk pengadaan helm, kita lebih memilih beli pilox warna merah putih demi menghemat biaya. Gak beli helm baru. Helm yang ada akhirnya kita warnai sendiri,” tuturnya.

Singkat cerita, Opik dan Tim berangkat pada tanggal 7 mei 2019. Lagi-lagi demi menghemat biaya, tim memilih berangkat melalui darat menggunakan mobil lalu terbang dari Bali. Sebab, jika menggunakan pesawat dari Jakarta, menurut perhitungannya, akan memakan biaya lebih mahal.

Opik mengaku, timnya sempat mengajukan bantuan ke KONI KBB, namun hanya jalan buntu yang ia temui. Terpaksa, tim berangkat dengan mobil pinjaman. Padahal KONI memiliki fasilitas mobil atlet maupun dana pembinaan cabor maupun atlet. Namun sepeser pun dana KONI KBB tak dirasakan wakil Indonesia itu.

Opik dan tim juga sempat mengajukan bantuan kepada Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) KBB, namun dana yang diberikan tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka selama di Australia.

Sebanyak 9 orang berada dalam satu mobil, dengan penuh sesak, bercampur barang bawaan. Tak ayal, rasa pengap, bau keringat teman dan oksigen berbaur dalam ruang sempit mobil selama dua hari perjalanan ke Bali.

“Kadang saya yang duduk di barang-barang, kadang kepala teman diduduki dan saling bergantian selama dua hari. Kondisi saat itu sedang puasa. Buka puasa pun di jalan cuma pakai roti seadanya. Ya buat menghemat,” kata Opik mempraktikan cara duduknya di dalam mobil.

Ilustrasi kejuaraan arung jeram internasional (foto:net)

Sesampainya di Bali, Opik dan tim butuh tempat untuk bermalam. Demi hemat biaya, mencari sponsor hotel adalah solusi pada malam itu.

“Jadi kita nyari sponsor dadakan buat nginep semalem. Alhamdulillah ada yang mau. Nama hotelnya Alkyfa,” terang Opik.

Barulah setelah satu malam menginap di Bali, Opik dan tim berangkat menggunakan pesawat terbang ke Australia.

Suka Duka di Australia

Kedatangannya sempat dihina oleh pemain negara lain. Postur tubuh yang tidak setinggi atlet lain dan kostum yang serba seadanya, mungkin menjadi unsur atlet lain mencacinya.

“Kata atlet negara lain ‘ke sini mau nonton pertandingan siapa’. Kita pernah dapet hinaan gitu. Tapi kita sih gak lantas ngedrop atau jadi lemah. Malah jadi rajin latihan,” kata Opik menirukan.

Ilustrasi tim arung jera, Rusia di kejuaraan internasional 9foto:net)

Sembilan hari di Australia, terpaksa harus ditempuh dengan hidup seadanya. Tidur di dalam tenda, menu makan mie-telor setiap hari, minum air mentah harus dijalaninya sebab minimnya biaya.

“Kalau lihat atlet lain mah tidurnya pada di Hotel. Ya iri mah iri mau gimana lagi. Kita pilih tidur di tenda. Itu juga bayar. Saat itu kan memang musim hujan. Kita tidur menggunakan kasur angin. Setiap bangun tidur, pasti ada air di bawah kasur kita. Jadi setiap subuh sebelum makan sahur, kerjaan kita itu buangin air yang menggenang ke luar tenda.. hehehe,” kenangnya dibarengi senyum mengembang di ujung bibirnya.

Pertandingan demi pertandingan dilalui dalam keadaan puasa. Atlet yang sempat menghina di awal akhirnya bertemu. Ada semangat lebih untuk hadapi tim lawan tersebut.

“Tim yang menghina akhirnya kita kalahin sebelum masuk semifinal. Wah itu mah mereka dimarahin abis-abisan sama pelatihnya. Ada yang sampe nangis juga,” ujar Opik.

Tim Kapinis pun maju ke final. Pertandingan penentu juara I itu harus berhadapan dengan tim tuan rumah Australia. Helm dengan cat pilox merah putih, kostum sederhana dan wajah-wajah kampung Bandung Barat, terjun di arus sungai penentu kejuaraan.

Dayung demi dayung diayunkan, asin keringat dan air sungai bercampur jadi satu kesatuan mengalir di pelipis dan di dahi. Teriakan Indonesia memacu semangat keenam pendayung di arus final arum jeram.

Tibalah di garis finish. Hitungan waktu panitia mengunggulkan tim arum jeram tuan rumah juara. Stamina dari mie-telor dan air mentah dibayar dengan juara dua dunia.

Namun, Kapinis melihat ada yang janggal pada penghitungan waktu panitia. Pada hasil hitung dari stopwatch yang dipegang timnya, menunjukan waktu yang lebih cepat di banding tim Australia.

“Harusnya kita menang. Di stopwatch kita lebih unggul. Tapi karena untuk protes aturannya harus bayar 100 dolar, kita jadi mikir-mikir lagi,” tutur Opik.

Sebagai pelatih, keputusan untuk protes akhirnya dilemparkan kepada tim untuk musyawarah.

“Pelatih bilang gini, ‘Ini ada uang segini lagi. Mau protes ke panitia atau mau buat makan aja’ akhirnya kita karena kondisi lapar, kita milih buat makan aja. Kita juga mikirnya juara dua tingkat dunia juga udah lumayan lah. Akhirnya kita pilih uangnya buat makan enggak buat protes,” paparnya.

Pulang Kampung dengan Kalung Juara Dua Dunia.

Selepas pertandingan, Opik dan tim Kapinis memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dengan menggendong status juara dua tingkat dunia.

Sesampainya di Indonesia, Opik tak langsung menuju rumah. Timnya terpaksa harus bermalam di rumah teman pelatihnya di Surabaya. Bingung ongkos pulang, akhirnya Opik memberanikan diri meminjam sejumlah uang kepada teman pelatihnya untuk transport pulang.

Tim Kaianis Indonesia asal Bandung Barat, meraih juara II pada kejuaraan arum jeram Internasional di Australia. (foto:istimewa)

“Akhirnya masing-masing dikasih pinjam untuk beli tiket kereta, dan ongkos perjalanan. Itu juga enggak cukup sampai rumah,” kata Opik.

Perjalanan Surabaya-Bandung cukup panjang. Selama itu, Opik menghemat uang hasil meminjamnya dengan cara tidak makan selama perjalanan.

“Sampai di Stasion Bandung, kita habis uang. Akhirnya kita cari akal, saya telfon teman yang kebetulan di Kota Bandung. Saya niatnya minta bantuan agar teman saya meminjamkan uang untuk ongkos ke Rajamandala,” lanjut Opik.

Tibalah Opik di Rajamandala, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Namun, untuk sampai ke teras rumahnya, Opik harus menempuh jarak beberapa kilometer.

“Sampe Rajamandala kan enggak bisa langsung sampai rumah ya. Untuk bisa sampai rumah, saya ngontek dulu teman yang ada motor. Alhamdulillah bisa sampai dengan selamat,” terangnya.

Dari seluruh perjalanan sedemikian panjang, menghabiskan Rp 270juta. Sedangkan bantuan yang diberikan Dispora KBB hanya sebesar Rp 10juta. Menurutnya masih jauh dari kata cukup. Sangat kurang untuk bekal tanding pada ajang Internasional. Terlebih mereka dapat mengharumkan nama Indonesia maupun KBB.

Ia dan tim Kapinis kecewa dengan minimnya perhatian dari pemerintah terutama KONI KBB maupun Pemkab Bandung Barat. Padahal, mereka dapat mengharumkan nama Indonesia maupun KBB di ajang internasional. Opik berharap ke depannya, Pemkab Bandung Barat bisa hadir memberikan dukungan bagi mereka yang memang berencana untuk ikut kembali kejuaraan internasional. (Bagus Fallensky/BandungKita.id)

Editor : M Zezen Zainal M

Comment