LIPUTAN KHUSUS Bag-2 : Misteri Uang Service Charge dan Potensi “Kebocoran” dalam Perputaran Uang Miliaran Rupiah di Pasar Andir

BandungKita.id, BANDUNG – Misteri uang service charge para pedagang di Pasar Andir, Kota Bandung mulai terkuak. Fakta mengejutkan seputar misteri uang service charge, diungkap langsung oleh para pedagang saat ditemui BandungKita.id beberapa waktu lalu.

Faktanya, tak ada uang recehan dalam pungutan uang service charge kepada para pedagang di Pasar Andir tersebut seperti yang dibahas BandungKita.id sebelumnya. Besaran uang service charge yang dipungut dari para pedagang ternyata jauh lebih besar beberapa kali lipat.

Jika diakumulasikan, uang service charge yang dipungut dari para pedagang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Meski demikian, jumlah dana yang masuk ke Pemkot Bandung sebagai pendapatan asli daerah (PAD) masih menyisakan tanda tanya.

Berdasarkan penelusuran BandungKita.id, sejak pengelolaan Pasar Andir diambil alih oleh PD Pasar Bermartabat sejak 2016 lalu, para pedagang di Pasar Andir dibebankan “upeti” yang lumayan mencekik. Dengan dalih biaya kebersihan, biaya listrik, keamanan dan air, para pedagang dipungut ratusan ribu rupiah setiap bulannya.

Menariknya, para pedagang tak mengetahui harga standar service charge untuk setiap kios berjualan mereka. Mereka hanya diminta membayar uang service charge sesuai tagihan yang dibebankan petugas pemungut service charge. Jumlah uang service charge yang mereka bayar pun tak pernah tetap. Pasti berubah setiap bulannya.

Bangunan Pasar Andir, Kota Bandung (M Zezen Zainal M/BandungKita.id)

 

Salah seorang pedagang Pasar Andir, Dado (40), bukan nama sebenarnya, mengatakan dalam sebulan ia setidaknya harus membayar uang service charge sebesar Rp 160 ribu. Pedagang pakaian pria di lantai 2 itu menyebut angka sebesar itu terbilang lumayan memberatkan.

Namun, kata dia, bagi kiosnya yang hanya berukuran 2 x 2,5 meter, nominal uang service charge tersebut terbilang murah. Sebab, kata dia, pedagang lainnya yang memiliki kios cukup besar atau bahkan memiliki dua lokal kios, beban biaya service charge-nya jauh lebih mahal.

“Saya sebulan beda-beda nominalnya. Kadang Rp 160 ribu, kadang Rp 180 ribu. Kadang Rp 100 ribu. Enggal tentu. Tapi yang lain ada yang mencapai Rp 300 ribu bahkan Rp 400 ribu per bulan iurannya,” ujar Dado seraya meminta identitas aslinya dirahasiakan.

Pernyataan Dado rupanya diakui pedagang lainnya, Lina (bukan nama sebenarnya). Perempuan berkulit putih itu mengakui dirinya yang saat ini berjualan dengan menggunakan dua lokal kios dibebankan biaya service charge yang lumayan besar.

“Dalam sebulan saya biasanya bayar service charge sekitar Rp 400 ribu atau Rp 425 ribu. Saya juga enggak ngerti gimana hitungannya. Itu terserah petugasnya aja yang nentuin harga,” ujar dia.

Wanita berambut panjang itu menduga adanya potensi “kebocoran” dalam pungutan uang service charge dari para pedagang. Sebab, tak jelas berapa sebenarnya standar yang harus dibayar pedagang dalam biaya service charge. Namun ia mengaku tak memiliki waktu untuk memprotes atau sekedar mempertanyakan hal tersebut.

“Mungkin ada (selisih harga) yang masuk ke petugas juga. Bisa jadi enggak disetorkan semua. Saya enggak ngerti, biarin aja ah itu urusan mereka. Saya mah jualan aja,” ungkap Lina.

BACA JUGA :

LIPUTAN KHUSUS Bag-1 : Pengelola Pasar Andir, Misteri Uang Service Charge dan Isu Investasi di Kota Bandung

 

 

Lina sebenarnya memiliki beberapa kios lainnya di Pasar Andir. Beberapa kios terletak di blok berbeda dengan yang kios tempat berjualannya saat ini. Ia awalnya memanfaatkan empat lokal kios miliknya untuk berjualan pakaian.

Namun besarnya biaya service charge yang dibebankan membuat ia memilih menutup dua kios yang terletak di blok berbeda. Ia kemudian memilih menyewakan kios miliknya kepada pedagang lainnya. Apalagi ia pun masih memiliki beban cicilan kios miliknya tersebut.

“Saya sekarang di sini saja jualannya (lantai 2). Selain berat biaya service charge, memang lokasinya agak berjauhan sehingga cukup lelah ngontrolnya. Yang lainnya saya sewakan aja. Kalau dijual sayang juga karena ini investasi,” ujar Lina.

Pantauan BandungKita.id, terdapat belasan kios di Pasar Andir yang tutup. Rata-rata kios tersebut kembali disewakan pemiliknya dengan mencatumkan secarik kertas bertuliskan “Disewakan Hub 08….”. Belum diketahui pasti apakah banyaknya kios yang tutup itu disebabkan akibat besarnya biaya service charge atau karena alasan lain.

Sejumlah kios di Pasar Andir terlihat tutup (M Zezen Zainal M/BandungKita.id)

 

Pedagang lainnya yang berjualan di lantai 1, Ratna (bukan nama sebenarnya), juga mengaku tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya service charge untuk tiap kios. Ia hanya diminta membayar sesuai tagihan yang diberikan petugas penagih.

“Katanya sesuai penggunaan listrik. Tapi enggak tahu juga gimana ngitungnya. Bayarnya enggak harian, tapi per bulan. Setiap bulan kadang saya bayar Rp 200 ribuan, kadang Rp 150 ribu. Tapi pernah juga cuma bayar Rp 100 ribu. Jadi enggak tentu biaya service charge itu,” ujar Ratna.

BACA JUGA :

Pemkot Bandung Kerahkan Pasukan untuk “Usir” Investor Pasar Andir? Ini Jawaban Dirut PD Pasar

 

 

Berdasarkan informasi yang diperolehnya, kata dia, dalam biaya service charge yang dipungut PD Pasar terdapat beberapa variabel atau alokasi pembayaran, diantaranya biaya pelayanan, kebersihan, biaya keamanan, biaya listrik dan air.

“Tapi kalau penggunaan listrik, paling saya cuma pakai lampu dan nge-charge ponsel aja. Tapi kadang bayarnya bengkak tergantung mereka yang mungut,” ujar dia sambil tersenyum.

Meski demikian, ia memandang besarnya biaya service charge tidak berbanding lurus dengan pelayanan yang diperoleh para pedagang maupun pengunjung Pasar Andir. Menurutnya, banyak fasilitas yang tak berfungsi seperti halnya eskalator yang sering mati sehingga sering dikeluhkan pengunjung.

Eskalator di lantai 2 Pasar Andir mati dan tak bisa digunakan pengunjung maupun pedagang. (M Zezen Zainal M/BandungKita.id)

 

Ratna, Lina serta Dado maupu pedagang lainnya mengaku sempat dibuat bingung dengan polemik perebutan hak pengelolaan Pasar Andir antara pengelola saat ini PT APJ dengan PD Pasar. Mereka tidak mengetahui siapa sebenarnya yang memungut service charge kepada para pedagang. Sebab, petugasnya kerap berbeda setiap kali penagihan.

“Kalau kita mah mikirnya bisa tetap jualan aja. Tapi memang waktu ada pasukan polisi itu di Pasar Andir sempat sepi selama beberapa hari. Kalau enggak salah pasukannya itu tiga truk dalmas. Para pedagang mah berharap konfliknya PT APJ dan PD Pasar cepat selesai supaya tidak mengganggu para pedagang,” ujar dia.

Kepada BandungKita.id, pengelola Pasar Andir yakni PT APJ mengaku tidak melakukan pemungutan uang service charge kepada para pedagang selama kurun waktu Oktober 2016 hingga Maret 2019. Meski demikian, PT APJ masih tetap memberikan pelayanan kepada para pedagang.

Sejumlah kios di Pasar Andir tampak sepi pembeli (M Zezen Zainal M/BandungKita.id)

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh BandungKita.id dari PD Pasar, setidaknya terdapat 2.000 kios atau tempat berjualan di Pasar Andir. Seandainya satu kios dipungut paling kecil Rp 50 ribu maka setidaknya dalam satu bulan bisa terkumpul dana sebesar Rp 100 juta.

Jika angka Rp 100 juta dikalikan 12 bulan atau satu tahun, maka dalam setahun akan terkumpul dana service charge sebesar Rp 1,2 miliar. Lalu Rp 1,2 miliar itu dikalikan tiga tahun, sesuai lamanya masa kekosongan pengelolaan Pasar Andir karena adanya persidangan BANI, maka setidaknya akan muncul angka Rp 3,6 miliar.

Itu baru perhitungan angka minimal. Bagaimana jika angka yang dikalikannya adalah nominal Rp 100 ribu, sebagai angka service paling kecil yang dipungut dari para pedagang.

Otomatis akan muncul nominal angka minimal dua kali lipat atau sekitar Rp 2,4 miliar per tahun atau Rp 7,2 miliar selama tiga tahun.

Apalagi sesuai penuturan dan pengakuan para pedagang, mereka setiap bulannya ada yang dipungut Rp 100 ribu hingga Rp 425 ribu. Bisa dibayangkan berapa dana service charge yang terkumpul dari para pedagang setiap bulannya. Perputaran uang yang cukup fantastis.

Lalu siapa yang memungut uang service charge dari para pedagang ketika PT APJ tak mengutip dana tersebut karena adanya sengketa di BANI? Berapa sebenarnya angka yang disetorkan ke kas daerah Pemkot Bandung dari retribusi atau royalti pengelolaan Pasar Andir setiap tahunnya? Apakah ada potensi “kebocoran” karena tak jelasnya standar harga uang service charge?

Apa sih sebenarnya yang memicu sengketa antara PT APJ dan PD Pasar? Apakah ada investor lain yang “digandeng” PD Pasar sehingga BUMD milik Pemkot Bandung itu ingin segera mengakhiri kerjasama dengan PT APJ selaku investor dan pengelola Pasar Andir saat ini.

Simak jawabannya dalam reportase selanjutnya dalam Liputan Khusus Sengketa Pengelolaan Pasar Andir Bagian 3. (M Zezen Zainal M)

Editor : M Zezen Zainal M

 

Comment