Mahfud Ingatkan Soal Hancurnya Bangsa-Bangsa Besar Dimasa Lalu, Simak Kutipan Hadistnya

Sosok491599 Views

BandungKita.id, SOSOK – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh. Mahfud MD keras berbicara tentang kehancuran Bangsa-bangsa besar dimasa lalu. Ada faktor penting yang menyebbakan kehancuran tersebut, Hal itu disampaikan Mahfud di hadapan para mahasiswa Universitas Hasanuddin saat memberikan sambutan kunci pada Pembukaan National Leadership Camp ICMI Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis pekan lalu.

Mahfud, yang juga menjadi Bakal calon wakil presiden itu juga menyinggung terkait adanya ketidak adilanmenjadi penyebab kehancuran sebuah dinasti.

Baca Juga:

Intip Antusias Warga Cianjur, Nonton Bareng Wayang Bareng Ganjar

Konsisten Perhatikan Nelayan, Ini Momen Seru Ganjar Sapa Nelayan Pelabuhan Ratu Saat Nonton Wayang

Sentil Asal Usul Ganjar, Relawan Sajajarkan Purwakarta


“Negara seperti Mesir hancur Persia hancur Romawi hancur Tiongkok ganti-ganti pemerintahan Cina itu hancur karena ketidakadilan, setiap ada dinasti hancurnya setiap dinasti itu karena ketidakadilan” ujarnya mengaskan dalam acara yang bertema “Pemetaan Politik Islam di Indonesia Jelang Pemilu 2024”.

“Sehingga nabi lalu berkata (dalam) hadis yang kita hafal semua, demi Allah agar negara tidak hancur seumpama anakku Fatimah saja mencuri saya potong juga tangannya”. Ujar pria asal madura yang terkenal tegas dalam mengambil keputusan ini.

Sebagaimana dikutip muslim, Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”.  Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).

Editor; Dona Hermawan/BandungKita.id

Comment