BandungKita.id, BANDUNG – Sebanyak 281 warga negara asing (WNA) di Kota Bandung diketahui memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP). Selain itu, sebanyak 252 WNA juga tengah mengajukan pembuatan E-KTP kepada Pemkot Bandung.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandung Popong Warliati Nuraeni. Ia menjelaskan WNA yang sudah tinggal minimal 5 tahun boleh memiliki kartu izin tinggal tetap (KITAP), sebelum mengajukan pembuatan E-KTP.
“Di Kota Bandung ada 252 Kepala keluarga (KK) WNA yang mengajukan membuat E-KTP, dan 281 WNA saat ini telah memilki e-KTP,” ungka Popong saat dihubungi BandungKita.id, Sabtu (19/3/2019).
BACA JUGA :
KPU Pastikan 69 WNA di Garut Tak Masuk DPT Pemilu 2019
Heboh TKA China di Cianjur Punya KTP, Bupati Cianjur : Benar, Itu Diatur Undang-undang
Meski WNA memiliki KTP, kata Popong, WNA tetap tidak bisa memilih dan dipilih dalam pileg dan pilpres nanti karena statusnya bukan warga negara Indonesia.
“Jadi ya tetap WNA, tidak bisa milih. Keuntungan WNA yang punya KTP ya hanya untuk kepentingan selain pemilu saja. Bikin rekening bank misalnya, jadi tidak perlu viral-viral,” kata Popong.
Di Kota Bandung, mayoritas WNA berasal dari India dan Eropa dengan status bervariasi. Ada yang menikah dengan warga Indonesia juga ada yang bekerja.
“Mau bikin KTP, mau enggaK ya terserah. Kita tidak memaksa itu kan hak mereka,” kata Popong.
Ditemukannya warga negara asing (WNA) yang memiliki kartu kartu tanda penduduk (KTP) di Jawa Barat sempat membuat heboh. KTP WNA pertama kali ditemukan di Cianjur pada akhir Februari lalu, kemudian pada 1 Maret ditemukan lagi di Kabupaten Pangandaran. Terbaru pada 5 Maret 2019 tiga WNA di Kabupaten Ciamis masuk dalam Dafatar Pemilih Tetap (DPT).
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Jawa Barat, Daddy Rohanadi angkat suara menyikapi fenomena tersebut. Menurutnya, aturan bahwa WNA tidak boleh masuk dalam DPT sudah sangat Jelas. Namun pelaksanaannya di lapangan seringkali tidak sesuai harapan.
“Tapi KTP kan sekarang sepertinya lebih diperlunak kebijakannya, mereka (WNA) dipermudah punya KTP. Tapi kalau UU-nya jelas-jelas melarang WNA tidak diperbolehkan punya hak pilih atau dipilih. Tinggal seberapa jauh kemudian itu diimplementasikan di kelompok panitia pemungutan suara (KPPS),” ungkap pria yang juga Wakil Ketua DPD Gerindra Jawa Barat tersebut.
Menurutnya, lemahnya sistem pengawasan dan SDM di KPPS yang belum memadai jadi hambatan tersendiri dalam menindak saat kejadian serupa terulang.
“Rata-rata kita ini punya tata aturan, tapi pada tataran implementasi itu lemah,” ujarnya.(Tito Rohmatullah/BandungKita.id)
Editor : M Zezen Zainal M
Comment