BandungKita.id, HUKUM – Setelah buron sejak 2009, Djoko Tjandra akhirnya ditangkap kepolisian RI di Malaysia pada Kamis (30/7) malam. Ia tiba di Bandara Halim sekitar pukul 22.30 WIB didampingi langsung oleh Kabareskrim, Listyo Sigit Prabowo.
Tersangka kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali itu kembali jadi perhatian publik usai buron. Sebelumnya, Djoko Tjandra telah mengganti kewarganegaraan selama menjadi buronan seperti dilansir BandungKita.id dari CNN Indonesia.
Dia berhasil masuk Indonesia tanpa diketahui penegak hukum setelah membuat E-KTP dan mendaftarkan permohonan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jaksel pada 8 Juni. Pria bernama lengkap Djoko Sugiarto Tjandra atau Tjan Kok Hui lahir itu di Sanggau, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1951.
Awal Karier
Djoko mengawali karier di Papua Nugini dengan membuka sebuah toko grosir bernama Toko Sama-sama di Jayapura pada 1968. Saat itu, usia Djoko baru menginjak 17 tahun dan sudah jadi pebisnis ulung.
Pada 1972 karier bisnisnya melesat, ia membuka toko bernama Papindo di Papua Nugini. Selang tiga tahun kemudian, ia sukses membuka bisnis distribusi di Melbourne Australia.
Terbang ke Jakarta, ia mengawali kariernya dengan membuka sebuah perusahaan kontraktor bernama PT Bersama Mulia. Tiga tahun kemudian, Djoko jadi ahli untuk PT Jaya Supplies Indonesia. Ia kemudian banyak memperoleh proyek dari negara seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin), PLN, dan Pertamina.
Sejak 1979-1981, ia mengembangkan sebuah kilang minyak di Cilacap dan Balikpapan. Tak sampai disitu, Djoko juga membangun pembangkit listrk Belawan di Sumatra Utara dan pupuk Kaltim di Bontang, Kalimantan Timur.
BACA JUGA :
Teken Surat Jalan Joko Tjandra, Jabatan Brigjen Prasetyo Dicopot Kapolri
Ditentang Banyak Pihak, Soeharto Kembali Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Tidak hanya itu, Djoko juga menggarap sektor properti dengan mengembangkan perkantoran. Proyek-proyek yang pernah ia tangani antara lain pembangunan gedung Lippo Life, Kuningan Plaza, dan BCA Plaza. Ia juga ikut mengembangkan Mal Taman Anggrek.
PT Mulialand adalah perusahaan yang didirikan pada awal 1970-an oleh ayah Djoko Tjandra, Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa). Djoko melanjutkan bisnis warisan ayahnya, kemudian dijalankan bersama saudara-saudaranya, Eka Tjandranegara dan Gunawan Tjandra.
Hotel Mulia Senayan, Wisma Mulia, Menara Mulia, Wisma GKBI, Menara MuliaPlaza 89, Plaza Kuningan, dan Apartemen Taman Anggrek adalah sedikit diantara proyek mewah yang melbatkan PT Mulialand.
Tak hanya itu, mereka mendirikan PT Mulia Industrindo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur kaca dan keramik pada 5 November 1986.
Kasus Korupsi Djoko Tjandra
Bermula sekitar tahun 1998, pada saat itu Djoko menghadiri pertemuan di Hotel Mulia di Jakarta untuk membahas upaya Bank Bali mengumpulkan Rp904 miliar yang terhutang oleh tiga bank. Ketiga bank itu telah diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Djoko adalah direktur PT Era Giat Prima. Nama besar lainnya, Tersangka Kasus Korupsi E-KTP, Setya Novanto diketahui sebagai direktur utama. Mereka negosiasikan pengalihan tagihan Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie pada Januari 1999. Cessie itu berisi hak penagihan piutang kepada PT Era Giat Prima.
Djoko diselidiki oleh polisi dan Kejaksaan Agung. Ia didakwa melakukan korupsi dan dituntut 18 bulan oleh jaksa, karena keanehan kasus Bank Bali kemudian mencuat pada 1999. Namun ia dibebaskan pada 6 Maret 2000 karena wakil hakim ketua memutuskan kasus itu disidangkan oleh pengadilan perdata.
Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terkait Djoko Tjandra pada 2008. Sehari sebelum putusan dijatuhkan, Djoko terbang menggunakan pesawat charter dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Port Moresby, Papua Nugini.
Ternyata Djoko telah mengganti kewarganegaraan selama menjadi buronan. Dia sempat membuat E-KTP dan mendaftarkan permohonan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jaksel pada 8 Juni. Ia berhasil masuk Indonesia tanpa diketahui penegak hukum. (*)
Editor : Azmy Yanuar Muttaqien
Comment