“Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang, kujadikan layang-layang”.
Lirik lagu berjudul Bermain Layang-Layang tersebut menjadi gambaran rutinitas seorang bocah bernama Azis (15). Ia adalah salah satu siswa kelas 3 SMP Madani, di Desa Singajaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.
Membuat layangan sudah menjadi keahlian Azis yang dilakukan sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Saking seringnya ia membuat layangan, tangannya nampak mahir memegang pisau yang digunakan untuk menghaluskan bambu. Matanya jeli saat menggunting kertas dan menimbang kerangka layang-layang dengan benang.
Ia juga pandai membuat pola dan garis lurus beraneka warna untuk latar layang-layang. Karena telah terbiasa, Azis melakukan semua itu tanpa alat bantu penggaris.
Yang berbeda dari Azis, mencipta layangan baginya bukan hanya sekedar untuk diterbangkan atau menjadi teman bermain. Namun, baginya kegiatan itu telah menjadi profesi guna menggerakan roda ekonomi keluarga.
Dalam satu hari, anak dari pasangan Hamas dan Holis itu bisa memproduksi 2 ribu layang-layang, dengan keuntungan bersih Rp20 ribu.
“Tiap hari bikin 2 ribu layangan. Keuntungannya Rp.20 ribu, lumayan buat jajan dan kebutuhan sekolah,” kata Azis saat ditemui beberapa waktu lalu.
Di Desa Singajaya Azis tidak sendiri, hampir sebagian besar masyarakat di wilayah ini menekuni profesi sebagai pengrajin layang-layang. Produksinya dilakukan di rumah masing-masing warga yang tersebar di empat RW, yaitu, RW 4,5,6 dan 11.
Nama Desa Singajaya sebagai penghasil layangan, telah terkenal sejak dahulu, bahkan hingga keluar kota. “Pemesan biasanya datang juga dari luar daerah, seperti Sukabumi, Kota Bandung dan Bogor,” kata Ketua RW 6, Bambang Rudianto.
Ia berharap nama besar Singajaya sebagai daerah penghasil layang-layang, bisa tetap menjadi identitas daerahnya, yang dipertahankan dan didukung oleh pemerintah daerah.
Para pengrajin tak mendapatkan kesulitan pada aspek permintaan barang. Meski perkembangan zaman terus maju, permainan anak-anak berubah, tapi permintaan terhadap layang-layang tak pernah surut.
Menurut Bambang, yang jadi persoalan bagi warga saat ini adalah distribusi barang dan kebutuhan kertas. “Kami ingin pemerintah membuat sebuah lembaga khusus, seperti koperasi, sebagai penyalur hasil kerajinan warga. Selama ini pengrajin masih menyalurkan hasilnya pada tengkulak. Kami juga sering mendapat masalah karena harga kertas yang tiba-tiba naik,” jelasnya.
Azis, Bambang dan ratusan warga lainnya mengaku telah beberapa kali mengusulkan supaya daerahnya diperhatikan oleh Pemda, minimal disahkan sebagai desa sentra layang-layang. Namun hal tersebut selalu buntu.
“Beberapa ganti bupati selalu saja sama. Padahal dengan di tetapkan sebagai sentra, tentu kami tidak harus menyalurkan kepada tengkulak atau bingung mencari kertas,” pungkasnya.***(Restu Sauqi/BandungKita.id)
Comment