Filosofi Cilung dan Jalan Terjal Pelestarian Kudapan Khas Nusantara

Feature, Terbaru7502 Views

BandungKita.id, BANDUNG – Bagi anda warga Bandung yang menyukai street food, tentu tak asing dengan makanan murah meriah berbahan tepung ini. Makanan ini kerap dijajakan dihampir setiap kerumunan orang, di depan sekolah, area terbuka, hingga di gang-gang padat penduduk.

Ialah Cilung, makanan yang konon kependekan dari Aci Gulung ini ternyata punya filosofi cukup kentara dalam menjaga eksistensi makanan khas Indonesia timur.

Ditemui di gang Maksudi, Kecamatan Babakan Tarogong, Kota Bandung sang penjual Cilung, Ipin (52) menuturkan dirinya berjualan Cilung karena terinspirasi dari jenis makanan khas Papua, papeda.

“Kan aslinya mah (papeda) kaya bubur, bahan utamanya tepung sagu, disajikan dengan ikan, tapi kan ini di Bandung jadi saya bikin mirip aja, yang pentingkan makanan Indonesia dikenal terutama sama anak-anak,” kata Ipin kepada BandungKita, Sabtu (13/4/2019).

Bagi Ipin, untung kecil tak mengapa asal ia bisa melihat generasi penerusnya mengetahui makanan asli Khas Indonesia. Secara bahan, Cilung yang di buat Ipin pun tak beda jauh dengan papeda yang sama-sama berbahan tepung sagu.

Bedanya, jika papeda disantap langsung dalam keaadaan setengah encer, papeda versi Ipin di masak diatas wajan tanpa minyak lalu digulung sepasang tusukan berbahan bambu.

Adonan tepung sagu, air dan garam yang semula berbentuk cair kini siap disantap hangat-hangat, bila ingin lebih nikmat bisa ditambahkan saus agar rasanya kian menggoyang lidah.

BACA JUGA:

Hamasah Library Resto, Tempat Nongkrong Keren di Bandung Barat yang Bikin Betah Baca Buku

 

Dibandrol dengan harga Dua ribu perak, tampaknya sudah cukup jadi kebahagian bagi penjual Cilung asal Kecamatan Tarogong Kabupaten Garut tersebut. Meski begitu, bukan tidak ingin Ipin mengembangkan usahanya, namun apa daya dia terkendala biaya.

Saat ini, Ipin berkeliling di sekitar Kecanatan Babakan Tarogong ditemani gerobak setianya yang dihiasi jejeran botol bekas air mineral yang beralih fungsi jadi wadah adonan.

Tak hanya itu, pelestarian jajanan khas Indonesia disadari Ipin memang perlu nafas panjang. Pasalnya, sejak ia berjualan dari tujuh tahun lalu pendapatanya cenderung menurun.

“ya dulu mah bisa sehari habis 3 kilo adonan, sekarang mah paling sekilo. Kalau lagi ramai pendapatan bersihnya Rp 90 ribu, kalau lagi sepi paling Rp 70 rubu,” ungkap bapak lima anak tersebut.

Setiap hari, Ipin berangkat sekira pukul 09.00 pagi dan kembali pulang jelang sore hari. Rutinitas itu ia jalani agar anak-anak Indonesia bisa tetap bersahabat dengan makanan tradiosional warisan nenek moyang.

“Ya bukan tidak mau punya tempat jualan yang lebih nyaman, biar orang bisa merasakan bagaiamana Papeda yang sesungguhnya, tapi ya gimana terkendala biaya, jadi jualan Papeda yang di modif aja dulu sekarang mah,” pungkas Ipin. (Tito Rohmatulloh/BandungKita.id)

Editor: Dian Aisyah

 

.l

Comment