21 Tahun Reformasi : Heroisme Mahasiswa dan 6 Tuntutan Massa yang Belum Terpenuhi

Nasional512 Views

BandungKita.id, BANDUNG – Tidak sedikit yang mengklaim aksi massa besar-besaran di Gedung MPR, 21 Mei 1998 adalah aksi mahasiswa. Heroisme itu digulirkan terus-menerus baik di organisasi kemahasiswaan, atau obrolan warung kopi.

Bilven Sandalista yang saat itu masih mahasiswa, terlibat aktif turun ke jalan hingga pecahnya Reformasi. Dia menyaksikan betul proses terjadinya aksi massa sebesar itu.

Sebelum 21 Mei atau tanggal Soeharto meletakan jabatannya sebagai presiden, banyak peristiwa yang dilakukan oleh negara dengan sewenang-wenang. Aksi massa pun bukan hanya mahasiswa. Ada buruh, kaum miskin kota, bahkan ibu-ibu rumah tangga, sempat menggelar aksi di bulan Januari.

“Menurut saya itu bukan hanya gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa bertemu dengan faktor lain yang jadi momen bersama. Bisa disebut krisis ekonomi jadi keywordnya,” ujar Bilven kepada BandungKita.id, Senin (20/5/2019).

Baca juga:

Pasca Pilpres, Mahasiswa Serukan Masyarakat Kembali Jalin Silaturahim dan Bersatu

 

Menurutnya, reformasi yang dilakukan 21 tahun lalu, masih belum berhasil meski Soeharto sudah tumbang. Hal tersebut kata Bilven, bisa ditinjau dari tuntutan-tuntutan yang belum goal.

“Jadi yang harus diingat adalah tuntutan reformasi kala itu. Ada 6 garis besar tuntutan. Meskipun masih banyak tuntutan lain. Tapi kira kira yang jadi tuntannya 6 poin,” paparnya.

Pertama, tegakkan supremasi hukum. Tuntutan tersebut muncul karena Orde Baru berdiri di atas pelanggaran hukum dan HAM selama 32 tahun. Kemudian selama berkuasa banyak pelanggaran yang dilakukan.

“Jika dibanding hari ini, pelanggaran HAM masih sering dilakukan. Hukum juga masih samar-samar ke penguasa. Kasus Semen Kendeng itu paling vulgar,” jelas Bilven yang kini menjalani karirnya sebagai pedagang buku.

 

Soeharto menyampaikan pidato mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998. foto/Istimewa

 

Kedua, Berantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurutnya, rezim Orde Baru melakukan korupsi secara membabi buta. Nepotisme pun demikian. Hal tersebut dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bukan hanya mahasiswa saja.

“Jangan dikira hari ini sudah aman dari KKN. Salah satu keberhasilan reformasi bisa dibilang berdirinya KPK. Tapi lihat ada berapa ratus kepala daerah yang terjaring?” terangnya.

Baca juga:

Cerita Tiga Mahasiswa di Bandung Jelang Pesta Demokrasi 2019 : Pilih Mudik Tempuh Ratusan Kilometer Hingga Terpaksa Golput

 

Selanjutnya, ketiga, amandemen Undang-undang 45. Dalam UU 45, lanjutnya, tidak diatur masa jabatan presiden. Tentara bisa menjabat. Menurutnya, inti dari amandemen adalah tentara tidak boleh menjabat pada jabatan politik.

“Hari ini kita lihat semangat demokratis dicederai. Pemilihan umum dikerucutkan jadi dua partai. Meskipun ada beberapa hal yang sudah dicapai. Seperti penghapusan tentara dari jabatan politik,” ucap Bilven.

Keempat, cabut dwifungsi ABRI. Saat itu, ujar Bilven, rakyat merasakan sekali bahwa ABRI ada di setiap kehidupan kita. Dari jabatan tertinggi, hingga jabatan terkecil setingkat RT pun harus ABRI.

“Sekarang jangan difikir sudah tidak ada. Contoh nyatanya aja kemarin pas may day. Apa nyambungnya tentara ada di aksi buruh? Atau apa hubungannya tentara dengan pembersihan sungai? Tugas dia kan menjaga pertahanan dan keamanan negara,” ungkapnya.

Baca juga:

Mangkir Terus di Persidangan, Mahasiswa Minta Wagub Jabar Uu Dijemput Paksa dan Kasusnya Diambil Alih KPK

 

Kelima, adili Soeharto dan kroni-kroninya. Isu ini yang menjadi isu besarnya. Sehingga beberapa tuntutan lain menjadi tersisikan. Dia mengatakan, kita mungkin bisa menurunkan Soeharto. Tapi kroni-kroninya masih duduk manis.

“Kroni-kroninya bermetamorfosis jadi beberapa yang kini menguasai Indonesia. Kalau ingin tahu siapa kroni-kroninya, mereka yang menguasai pusat-pusat ekonomi Indonesia,” terang Bilven.

Keenam, otonomi daerah. Tuntutan ini untuk menghadang otoritarianisme penguasa massa itu. Meskipun, hari ini otonomi daerah tidak jelas.

“Jika tuntutan reformasi jadi tolok ukur keberhasilan reformasi, lantas apa yang kita banggakan?” pungkasnya.***(Bagus Fallensky/BandungKita.id)

Editor: Restu Sauqi

Comment