Soal Proyek Kereta Cepat, Warga: Kami Harus Melepas Tanah dan Rumah Demi Pembangunan yang Tak Kami Butuhkan

JabarKita, KBB1151 Views

BandungKita.id, PADALARANG – Nasib pahit harus ditelan sejumlah warga RT 01 RW 04, Desa Sukatani, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Lahan dan rumah yang mereka duduki harus diserahkan untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Seorang warga tergusur, Deden Rohendi mengatakan, dirinya dan keluarganya terpaksa harus berpindah ke rumah keluarganya yang berada di Kecamatan Cihampelas, KBB.

Kenangan rumah yang dihuni Deden selama 12 tahun, harus diratakan demi pembangunan yang sama sekali tak ia butuhkan.

“Siapa juga yang mau naik kereta cepat ini. Saya mah gak butuh. Tapi saya menghargai pemerintah melakukan pembangunan. Tolong pihak pengembang juga hargai prosesnya. Di pengadilan kan belum selesai. Musyawarah kan gak ada,” ungkap Deden saat ditemui di rumahnya yang siap dihancurkan, Selasa (20/8/2019).

Baca juga:

Penggusuran Lahan Proyek Kereta Cepat Ternyata Dilakukan Tanpa Proses Peradilan

 

Deden mengaku ditawari oleh PT PSBI untuk tinggal di salah satu rumah di Kota Baru dengan jangka waktu sebulan. Namun baginya, bukanlah rumah singgah sementara yang ia butuhkan.

“Kita biasa hidup di perkampungan. Jadi gak cocok (tinggal di Kota Baru) dengan kebiasaan kita. Lagian biaya hidupnya juga gak pas buat kita. Kita lebih pilih di keluarga di Cihampelas,” kata Deden.

 

(Dok) Budi (42), warga Kampung Babakan Garut Rw 10 Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, tengah membongkar rumah yang terdampak penggusuran kereta cepat, Senin (8/4/2019).(Bagus Fallensky/BandungKita.id)

 

Atas adanya penggusuran tersebut, Deden dan keluarganya harus kehilangan lumbung pendapatan yang menghidupi keluarganya. Karyawan yang sehari-hari bekerja di rumahnya mengerjakan produk rumahan harus berhenti bekerja.

“Kalau membangun lagi rumah dari awal kita harus butuh waktu yang lama. Konsumen kita hilang. Karyawan juga belum digaji. Apalagi ekonomi keluarga. semuanya ini gak diganti rugi. Yang diganti rugi kan lahan dan bangunannya aja,” paparnya.

Meski rumahnya sudah kosong dan siap diruntuhkan, Deden mengaku belum menerima uang sepeser pun. Proses persidangan pun masih berjalan.

“Kalaupun nanti uangnya turun, gak mungkin bisa kebeli lagi rumah yang seperti ini. Musyawarah atau negosiasi harga juga gak ada. Jadi penggusuran ini sangat cacat prosedur,” ujar Deden.

Baca juga:

Eksekusi Lahan KCIC di Padalarang, Seorang Ibu Jatuh Pingsan

 

Sementara itu, Atang Salim pemilik rumah di samping rumah Deden mengakui dirinya keberatan atas nilai ganti rugi yang dinilai berat sebelah. Tatang membandingkan bangunan rumahnya dengan bangunan yang sudah menerima ganti rugi.

“Yang depan rumah saya ini ganti ruginya Rp.3 juta per meter yang belakang juga sama Rp.3 juta. Tapi kenapa nilai ganti rugi rumah saya di bawahnya jauh. Padahal, kualitas bangunan lebih bagus ini,” terang Atang.

Atang menuturkan, istrinya sempat mengalami kejang-kejang saat proses eksekusi tahap pertama pada Kamis (15/8/2019). Pada eksekusi tersebut ratusan personil diturunkan. Atang dan istrinya mengunci diri di dalam rumah. Aparat menggunakan linggis mencoba memaksa masuk dengan merusak pintu. Namun hal itu berhasil dicegah.

Baca juga:

Eksekusi Lahan KCIC di Padalarang Dinilai Cacat Hukum

 

“Istri saya sampai pingsan sempat kejang-kejang juga. Tensi darahnya waktu itu langsung naik jadi 200. Sekarang sih kondisi fisiknya membaik. Tapi psikis nya gak tau,” terang Atang.

Dari eksekusi, Atang mengatakan, bagian rumahnya seluas 133 meter persegi dengan kamar bagian depan dan sebagian ruang tamu menggantung tak diganti rugi. Menurut Atang, lahan tersebut tidak bisa dimanfaatkan apapun.

“Biarkan kamar depan ini jadi Rumah Derita korban penggusuran. Saya tidak menolak adanya KCIC tapi tolong dong bersikap adil,” pungkasnya.***(Bagus Fallensky/Bandungkita.id)

Editor : Restu Sauqi

Comment